Selasa, 28 Februari 2012

Pawai Kelurahan Mlipak, Semarak

Wonosobo – Dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW  1433 H dan Khitanan Massal Kelurahan Mlipak, Kecamatan Wonosobo, Sabtu, 25 Februari 2012 lalu menggelar acara Karnaval atau Pawai. Acara yang diikuti oleh perwakilan seluruh  RT dari beberapa RW kelurahan Mlipak ini memeriahkan sebagian wilayah Barat Kota Wonosobo. Jalan-jalan yang dilalui oleh rombongan peserta karnaval sempat macet beberapa waktu karena banyaknya tim yang mengikuti acara. Sebagian besar Tim menampilkan dandanan berbagai profesi seperti, tentara, polwan, perawat, dai/kyai, pemburu, petani, peternak ikan, dan lain-lain.
Mulai dari usia  anak-anak, remaja, dewasa, maupun tua baik laki-laki atau pun perempuan turut ambil bagian. Sampai-sampai ada yang sudah nenek-nenek namun mau berseragam merah putih (SD), berkucir dua lengkap dengan tas rangselnya. Tampilan yang sangat menarik perhatian adalah replika berbagai binatang yang memiliki kekhasan tersendiri.
 Replika yang dipajang di atas kendaraan bak terbuka seperti, Ular Naga dengan gigi runcing dan mata merah membara, Patung Pegasius (Kuda bertanduk dan bersayap/kuda terbang), Replika Gajah dengan pawang seorang gadis  berkostum ala Tarzan), Replika Ayam, Ikan, Kelinci, dsbnya. Replika lainnya seperti Kambing, Singa, Burung Elang, dan Shaun The Sheep juga ditampilkan dalam ukuran yang lumayan besar. Sebagian Tim ada yang menampilkan kostum beberapa suku di Indonesia, misalnya suku Dayak, Bali, Betawi lengkap dengan ondel-ondelnya, Adat Jawa, kostum Reog, berbaju lurik, mengenakan surjan dan blangkon dan dll. Dari kalangan pemuda tak mau ketinggalan, turut  menampilkan suasana  panas negeri ini, khususnya dunia hitam. Yah, penjara bagi orang-orang yang telah berbuat kejahatan di kurung di jeruji besi, pemuda berburu babi hutan dengan tombak yang runcing, berdandan ala tentara tempo dulu yang berjuang dengan membara walau dalam tekanan penjajah dan membawa senjata bambu runcing dan senapan sederhana. 
Replika Tank juga sangat berwibawa saat diarak sebagai bukti kemenangan pejuang yang berhasil melawan musuh. Layaknya seorang pejuang, para pemuda itu mengacung-acungkan senjata dengan mengobarkan semangat perjuangan. Tak hiraukan panas yang membakar peluh hingga keringat bercucuran. Semua berbaris dengan tertib, teratur, dan sabar. Sungguh menjadi pemandangan yang apik dan menarik. Terselip adanya rasa persaudaraan dan persatuan. Tidak nampak sedikit pun adanya perbedaan suku. Bahkan nilai-nilai budaya yang pantas dilestarikan menjadi pilihan peserta karnaval untuk melestarikan budaya itu. Misalnya, naik egrang, naik odong-odong, mengenakan kostum Tari Kecak dari Bali, kostum beberapa tokoh wayang, dll.
Beberapa group kesenian juga turut memeriahkan acara, seperti Group Kesenian Kentongan Nawa Kartika dari Jojogan, Kejajar, Kesenian Calung, Seni Kentongan Bambu Sejati, Anggrung Gondok, Desa Reco dan Kesenian Jaranan dengan ciri khasnya barongan yang beraksi sampai bergelimpangan di jalan.
Gemeletuk giginya yang seolah akan menggigit mangsanya dengan sengit membuat penonton di pinggir jalan lari terbirit-birit. Penampilan lainnya yang tak kalah menarik seperti, tiga orang saudagar yang berkostum ala Aladin sambil  menuntun Replika seekor Unta besar. Baju dan celana kuning dan komprang plus surban di atas kepalanya seakan mencerminkan harapan sebagian warga yang ingin segera keluar dari berbagai permasalahan hidup. Adanya Aladin menjadikan masalah apa pun pasti terselesaikan. Bukankah Aladin itu cerminan orang yang cerdik dan selalu dapat mewujudkan keinginannya, dengan bantuan jin? Barangkali itu sindiran kepada sebagian orang sekarang ini yang ingin segalanya serba instan (cepat dan praktis). Ingin lekas kaya tetapi tidak mau bekerja keras malah dengan minta doa ke dukun atau para normal.
Jadi, kalau ada Tim yang menamakan arak-arakan itu sebagai Pawai Ta’aruf  itu memang benar. Selain dapat mempererat jalinan persaudaraan antar warga juga menjembatani kesenjangan rentang usia dari anak s/d usia tua.
Ajakan untuk hati-hati hidup di dunia agar selamat di kehidupan kelak juga tercermin dari spanduk yang bertuliskan, “Kepingin Slamet Donya Akherat, Al-Qur’an Cekelana” yang ditampilkan oleh warga RT 02 RW 01 dengan no peserta 06 Kelurahan Mlipak. Tak ketinggalan fenomena lain yang marak di TV juga muncul dalam pawai kali ini, Yakni, Tim dengan kostum pocong dan memikul keranda tiruan, dengan slogan “ Wanted! Kaula Mayat-Mayat”. Entahlah artinya apa, namun feelingku bermaksud menyadarkan kita semua bahwa suatu saat kita akan mati juga. Pada bagian belakang rombongan pawai, tampil group kesenian Etnis Chenes, dengan seragam tentara sambil memainkan sebuah liong yang sedang meliuk-liuk  ke kanan dan kiri. Akhirnya satu persatu peserta karnaval melewati depan panggung kehormatan sebelum membubarkan diri. Slogan : Bhineka Tunggal Ika dan Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putus agaknya pas untuk menggambarkan fenomena yang muncul di balik keriuhan pawai kali ini. Semoga, ajaran dan teladan Nabi Muhammad agar menghargai perbedaan benar-benar terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara khususnya warga Kelurahan Mlipak, dan warga negara Indonesia pada umumnya. Amin! Ternyata, satu momen (peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW) bisa disikapi dengan berbagai cara, misalnya dengan pengajian, pagelaran seni, menyantuni anak yatim dan miskin, karnaval, dan lain sebagainya. Namun, tujuannya sama yakni mencintai Rosullulah dengan cara meneladani sifat-sifat Nabi yang sangat  mulia. (Oleh : Eko Hastuti)

Tidak ada komentar: