Jum,at, 3 Februari 2012. Berlalu
begitu cepat, seperti hari-hari sebelumnya. Hingga genap empat
enam tahun lewat. Waktu yang sebenarnya cukup untuk berkarya. Menggoreskan
pena, merangkai kata, mencurahkan ide, melayangkan imajinasi, mengabadikan tragedi,
komedi, dan semua yang ada dalam sebuah
balada, sebait puisi, seikat pantun, seuntai
cerpen, sebuah artikel, sealinia esai, atau sebuah resensi. Tapi apa yang kutulis? Sekedar merenda angan,
melanglang buana dalam alam mimpi, memanjakan semua harapan untuk merajut dan
menyulam kata , takkan pernah terjadi. Hingga
penyesalan demi penyesalan yang hadir, entah itu buah perenungan diri atau sekedar instrospeksi.
Belum lagi, kuagungkan Asma-Mu ya Alloh, yang telah memberiku waktu.
Memberi ruh kehidupan, menaungi
kemuliaan, menjagaku dalam keselamatan, memberkahiku kebahagiaan, menuntunku ke
jalan yang benar, dan menyelimutiku dengan kedamian. Ampunilah aku ya Alloh,
aku lenakan semua itu. Tak ku syukuri nikmat-Mu karna keluh dan kesah lebih
besar dari syukur dan berserah diri saat dihadapkan dengan persoalan yang tak
berarti.
Saat fajar menyingsing, kuberpacu
menyapamu. Mengejar kharismamu menjadi
penerang dunia, dan lentera waktu. Membangunakan batang dan daun tuk bernafas
menghirup udara, dan melakukan fotosintesis, menyimpan makanan dan melebarkan
daun, meninggikan batang, juga memekarkan kuncup bunga hingga buah tumbuh
besar, dan ranum. Kuterseok-seok saat
hiasi pagi hingga siang datang. Panas membakar bumi, seakan menghadirku tuk
bangun dari mimpi. Ayo, pagimu tlah hilang dan siang menghadang. Tundukkan
kepalamu dan bersujudlah mohon ampunan. Tlah kaubiarkan waktu berlalu dalam
ragu dan termangu. Cuma bertopang dagu.
Ketika siang, matahari semakin gagah bersinar. Berdiri tegak di atas kepala. Penuh semangat kau hangatkan semua. Tanpa keluh kesah
hingga ciptakan harmoni kehidupan yang sungguh berirama. Aku semakin terpaku
dan bergelut dengan kekesalan. Ya ampun, panasnya hari ini. Peluh mengucur di
dahi, keringat membasahi tangan dan kaki. Kuberlindung di bawah pohon tuk
menjauhi terikmu. Takut terbakar muka
dan kulit, meski tak berkarya sepanjang hari. Tak ada kerja yang berarti.
Hingga petang datang menjelang.
Mentari kembali ke peraduan tuk berbagi peran dengan bulan dan bintang. Semburat
jingga di ufuk barat, menyajikan pesona alam yang indah. Mestinya, saat kau
selesaikan tugas kau nampak pucat dan lelah. Namun, kau tetap meninggalkan senyum
dengan burat-burat merah. Mengajak ku berserah diri pada Tuhan akan
kebesaran-Nya memutar roda kehidupan dengan teratur. Sebagai bukti kebesaran-Mu
bagi orang-orang yang mau bersyukur. Dan… saat ayam jantan kembali berkokok
membangunkan mimpi, aku masih terpekur dalam tidur. Saat mata kembali terbuka,
badan meliuk kanan kiri, dan tangan meregang ke atas hingga punggung berbunyi.
Hanya kuucapkan, “Ah, capainya badan ini”.
Akhirnya, semua lewat lewat dan
terus lewat. Waktu terus berlari, berlari, dan berlari. Tak hiraukan jiwa-jiwa
kerdil takbernyali. Tuk buahkan karya lukiskan indahnya dunia. Pesona pagi,
hebatnya matahari, anggunnya bulan dan bintang, pekatnya malam, dan agung-Nya
ciptaan Tuhan. Hanya penyesalan dan penyesalan yang kembali terulang, hingga
petang penghilang dan bayang-bayang hitam menghadang.
2 komentar:
baguss bu !!!
Makasih. Sayang, ngga meninggalkan identitas. Jadi Bu Eko, ngga bisa ngasih bonus nilai nih. Tahu sih, kamu salah satu peserta ekskul jurnalistik. Tapi, nama dan kelasmu kan Bu Eko tidak tahu, he..he..
Posting Komentar