Rabu, 10 Oktober 2012

KIAT MENULIS PUISI


Menghidupkan Panggilan Jiwa dalam Menulis Puisi

Menulis puisi pada dasarnya adalah panggilan jiwa. Panggilan jiwa ini ada yang sudah merupakan gift dan ada dalam diri penyair sejak awal serta bersifat alamiah. Tetapi, panggilan jiwa ini pun bisa dihidupkan, dengan;
intens membaca karya-karya sastra
berada dalam lingkungan dan jaringan penulis (puisi)
menghadiri berbagai peristiwa kesenian, dan lain-lain.
Membangkitkan Pengalaman Puitik

Menulis puisi harus lahir dari pengalaman puitik, yaitu suatu dorongan/desakan dari dalam jiwa penulis karena mengalami suatu pengalaman yang kental (intens). Puisi yang tidak lahir dari pengalaman ini, hanya akan berhenti sebagai versifikasi (keterampilan menulis puisi). Puisi seperti ini akan terasa kering, tanpa ruh, tanpa greget, tanpa gairah, tanpa api. Ungkapan-ungkapan yang muncul dalam puisi hendaknya lahir dari pengalaman puitik ini, bukan sekedar mengotak-atik unsur-unsur bahasa secara artifisial.

Setiap orang bisa mendapatkan dan mengalami pengalaman puitik. Caranya adalah selalu menyiapkan diri dan membuka jiwa kita, baik panca indera, perasaan, imajinasi, maupun pikiran untuk menangkap berbagai hal di sekitar, di dalam diri dan dalam kehidupan.
Menggali dan Mengolah Ide Penulisan Puisi

Segala sesuatu bisa jadi ide/bahan penulisan puisi; alam, benda-benda, cerita, mitos, legenda, nilai-nilai masyarakat, budaya, problem sosial, cinta, harapan, kekecewaan, dan masih banyak lagi. Segala sesuatu yang kita amati, hayati, dan alami dalam kehidupan adalah bahan penulisan puisi. Ide/bahan penulisan puisi itu adalah pengalaman penyair akibat persentuhannya dengan realitas (kenyataan). Pengalaman tersebut direnungkan dan diolah dengan kepribadian dan cara pandangnya sendiri, bukan dengan cara pandang umum. Puisi menjadi berharga apabila ada kekhasan dari cara pandang penyairnya.

Mengasah dan Mengolah Unsur-Unsur Pembangun Puisi

Dalam penciptaan puisi, pengalaman puitik dan ide penyair dituangkan/diungkapkan dengan alat-alat puitik/unsur-unsur pembangun puisi. Seperti: diksi, pencitraan, permajasan, penyiasatan struktur, bunyi, irama, dan topografi. Semua alat puitik ini diolah dan didayagunakan semaksimal mungkin agar pengalaman yang dituangkan itu dapat diterima pembaca dengan sejelas-jelasnya.
Puisi adalah Komunikasi

Dalam puisi, penyair ingin mengkomunikasikan pengalaman dan gagasannya kepada pembaca. Tentunya agar pengalaman dan gagasan itu dapat diterima dan dipahami pembaca, penyair harus mengkomunikasikannya dengan baik. Caranya adalah dengan menggunakan alat-alat puitiknya secara jernih.
Menjaga Logika Puisi

Keliru besar jika penciptaan puisi dianggap tak melibatkan akal/pikiran /rasio. Mencipta puisi adalah mengerahkan segala daya penyair lahir batin: pikiran, perasaan, imajinasi. Ketiganya harus berjalan seimbang. Menulis puisi pada aspek-aspek tertentu mungkin dilakukan atau memerlukan suasana trance, dan unsur bawah sadar. Tetapi, pada akhirnya rasio akan mengendalikannya. Lambang-lambang misalnya, muncul karena perasaan dan imajinasi. Tetapi bagaimana memilih dan menyusunnya dalam struktur yang tepat adalah tugas rasio. Di sinilah logika berjalan. Oleh karena unsur-unsur dalam puisi bersifat multi dimensi, yang digunakan tidak hanya logika linier, tapi juga logika puitik.

Membaca Puisi

Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam membaca puisi sebagai berikut:

- Ketepatan ekspresi/mimik
Ekpresi adalah pernyataan perasaan hasil penjiwaan puisi. Mimik adalah gerak air muka.

- Kinesik yaitu gerak anggota tubuh.

- Kejelasan artikulasi
Artikulasi yaitu ketepatan dalam melafalkan kata- kata.

- Timbre yaitu warna bunyi suara (bawaan) yang dimilikinya.

- Irama puisi artinya panjang pendek, keras lembut, tinggi rendahnya suara.

- Intonasi atau lagu suara
Dalam sebuah puisi, ada tiga jenis intonasi antara lain sebagai berikut :

- Tekanan dinamik yaitu tekanan pada kata- kata yang dianggap penting.

- Tekanan nada yaitu tekanan tinggi rendahnya suara. Misalnya suara tinggi menggambarkan keriangan, marah, takjud, dan sebagainya. Suara rendah mengungkapkan kesedihan, pasrah, ragu, putus asa dan sebagainya.

- Tekanan tempo yaitu cepat lambat pengucapan suku kata atau kata.

SELUK - BELUK PUISI

DEFINISI DAN UNSUR-UNSURNYA

1. Pengertian

Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).
Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.

Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
2. Unsur-unsur Puisi

Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.
Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.
Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.
Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya (1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3) bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.
Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.
Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3) bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk (Badrun, 1989:6).

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif, (8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima).

Berdasarkan pendapat Richards, Siswanto dan Roekhan (1991:55-65) menjelaskan unsur-unsur puisi sebagai berikut.
a. Struktur Fisik Puisi

Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.

1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)

3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.

4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.

5) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.

6) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
b. Struktur Batin Puisi

Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.

1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.

2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.

3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.

4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

******
Catatan : Artikel ini ditulis oleh Vanera El - Arj (pembimbing ekstrakurikuler jurnalistik SMPN 1 Wonosobo) dari berbagai sumber yang diposting di FB, grup ekskul jurnalistik smp.

Kamis, 04 Oktober 2012

Contoh Puisi Deskriptif


Maaf El (penyair wonosobo), aku memaksakan melahirkan sebuah puisi untuk contoh peserta ekskul jurnalistik. Nyatanya, hasilnya kacau. Jalinan kata dan untaian imajinasiku nyaris takbermakna. Tidak seindah puisi-puisimu. Tapi, cukuplah untuk contoh puisi yang deskriptif (menggambarkan suasana/keadaan) dalam episode waktu dalam kehidupan ini, khususnya saat senja. Silakan El untuk mencermati larik-larik puisi ini. Mungkin bisa jadi bahan diskusi.

KILAU SENJA

lembayung senja merapat
merambat dalam kemilau  kuning jingga
sambut hadirnya malam nan kelam
di sudut peraduan
mentari di cakrawala barat
mendekap hangat
begitu kuat

desir angin menyibakkan sayap
merayap pekat
dendangkan nada
dengungkan lagu
merona antara duka lara
dan suka cita
beriring dalam bilangan waktu
hingga detik-detik menjadi nyata
poleskan episode kehidupan
guratkan peran yang dimainkan

senja selalu sigap
hantarkan rembang petang ke dalam gelap
kala luka kian menganga
pilu terasa ngilu
harapan tak terjawab
dan cinta tak terbalaskan
malam pun bermandikan peluh
tempat ku bersimpuh
sebelum subuh

warna senja tetap merona
berbingkai lembayung jingga
begitu mempesona

Manggisan Asri, 03102012

(Puisi tersebut lalu diedit oleh El, jadinya seperti berikut ini)

]epilog sepi[

izinkan aku merayapi gelap
bau pelayat memekat di kidung kelam.

tolong tuang anggurku
agar kemabukan mendesir di pesisir
melahir hasrat, membuka tirai berjuntai
menyelami ruang di antara dada dan rasa
lalu tenggelam bersama desauNya

kalibeber, 03102012






Rabu, 03 Oktober 2012

EKSUL JURNALISTIK PERDANA

WONOSOBO - Selasa, 2 Oktober 2012 lalu, ekskul Jurnalistik SMPN 1 Wonosobo telah berlangsung di ruang Multi Media mulai jam 12.45 s/d 15.00WIB. Ekskul ini diikuti oleh 17 orang siswa yang terdiri dari 14 siswi dan 3 siswa. Kegiatan perdana ini mengawali kegiatan pengembangan diri di bidang tulis-menulis khususnya bagi peserta ekskul Jurnalistik periode 2012/2013.
“ Sekarang ini kompetensi menulis terasa begitu penting. Banyak pihak dituntut agar mau dan mampu menulis sebagai media pengembangan diri maupun pengembangan kerir. Guru misalnya, agar bisa naik pangkat ke jenjang yang lebih tinggi harus mau melakukan kegiatan menulis karya ilmiah (PTK). Mahasiswa harus sanggup menyelesaikan skripsi dan meringkasnya menjadi artikel dan dimuat di jurnal-jurnal kampus kalau ingin menjadi sarjana. Siswa SMA dan SMP pun sudah harus bisa menulis berbagai jenis tulisan untuk menyelesaikan tugas pembelajaran. Jadi, tulisan baik fiksi maupun non fiksi sudah tidak asing lagi. Jadi, memperdalam dunia tulis-menulis memang sangat penting dan bermanfaat”, kata Eko Hastuti mengawali kegiatan.
“Khususnya bagi sekolah yang bernaung di bawah bendera RSBI, menulis semakin terasa penting. Hal ini penting karena publikasi ke media menjadi salah satu bentuk pencitraan publik. Ciri kas RSBI adalah adanya nilai keunggulan di dalam publikasi proses maupun hasil penyelenggaraan pendidikan” imbuh Eko Hastuti mantab.
 Sedangkan untuk materi Jurnalistik kali ini mencakup kegiatan penulisan fiksi dan non fiksi. Tulisan jenis non fiksi seperti berita.reportase, profil, laporan,liputan, karya ilmiah (artikel) akan disampaikan oleh Eko Hastuti selaku pembimbing dari dalam. Materi fiksi akan dibimbing oleh Kak Vanera EL-arj (penyair wonosobo) selaku pembimbing dari luar. Dengan menghadirkan pembimbing dari luar, eksul diharapkan bisa lebih menarik dan maju.
Beberapa usulan yang dilontarkan oleh peserta antara lain, kegiatan agar diselingi dengan pemutaran film (Dena Isti Pasha), agar kegiatan reportase dibagi rata ke semua peserta (Lintang Madani), kegiatan diperbanyak praktek dengan liputan langsung (Tunjung), dan agar pembentukan pengurus kelas dicek kembali (Adrian). Maksudnya, ketua, sekretaris dan bendahara yang terpilih tidak sekaligus menjadi ketua redaksi bulletin sekolah.
 Ekskul Jurnalistik akhirnya usai jam 15.00 WIB, dengan agenda meliput beberapa momen istimewa yang diantaranya : meliput Fahmi (Juara OSN), Peserta KIR tingkat Nasional (M. Aruf dan Desfizar), Pembina KIR (Bu Tutik dan Pak Heru), Tim Basket, Rehab Gedung kelas 8, dan liputan ekskul di spensa sobo yang berjumlah 16 macam. Untuk memudahkan koordinasi dan komunikasi, peserta ekskul dibagi dalam 6 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 3 orang. Grup Jurnalistik di face book juga menjadi ajang berbagi dan bersinergi antar anggota. Media lain seperti Blog EKSIS SPENZA : http://eksisku.wordpress.com/  dan Komunitas Pecinta Sastra Wonosobo, juga dapat mmenjadi media publikasi karya para jurnalis spenza sobo ini. Oke, selamat berkarya, semoga spenza sobo tetap jaya dan membahana. Amin (Eko Hastuti).

Selasa, 02 Oktober 2012

KIAT MENULIS ALA DAHLAN ISKAN

Berikut sedikit KIAT MENULIS ALA DAHLAN ISKAN hasil interpretasi DWI SUWIGNYO (http://www.blogger.com)

LEAD HARUS SANGAT MENARIK

Ketika Dahlan Iskan belum sesibuk sekarang, dia selalu berjalan keliling ke meja wartawan. Membaca sekilas berita wartawan di laya komputer. Sasaran pertama adalah LEAD alias TERAS alias INTRO alias PEMBUKA alias ALINEA PERTAMA tulisan.

“Lead-mu 6. Cepat diperbaiki sampai 8. Kalau belum 8, nggak bisa dimuat. Lead harus sembilan,” kata Dahlan Iskan usai membaca beberapa baris berita salah satu reporter. Teman saya itu cepat-cepat memperbaiki lead-nya. “Coba saya lihat. Hmm.. lumayan, sudah 7, belum 8. Coba lagi,” kata Dahlan, bekas wartawan majalah TEMPO, itu.

“Bagaimana kalau kalimat di bawah ini Anda angkat ke atas. Dibuat lebih bagus agar enak dibaca?” usulnya.

Kursus menulis berita macam ini dilakukan Dahlan Iskan, dulu, terus-menerus di newsroom kami. Sambil kasih kursus, tak lupa Dahlan Iskan membagi-bagi permen atau kacang goreng: tiap-tiap wartawan satu atau dua biji. Sedikit tapi merata.
Dahlan suka lead yang spontan, unik, tidak klise. Pembaca sejak awal harus dibuat tertarik membaca sampai selesai. Dan itu ada teknik tersendiri.

HUMOR CERDAS

Sebagai orang Jawa Timur, Pak Bos punya koleksi humor berlimpah. Kebanyakan didengar dari teman-teman, wong cilik, obrolan di warung kopi. Humor cerdas kerap jadi pembuka (lead) tulisannya.

Contoh: “Di dunia ini ternyata ada empat hal yang tidak bisa diduga: lahir, kawin, meninggal, dan … Gus Dur!”

Selain di lead, humor kerap dipasang Pak Bos di akhir tulisannya. Bacalah terus karya dahlan, niscaya di akhir atau menjelang akhir ada kejutan. “Benar-benar mengagetkan,” kata ROHMAN BUDIANTO, redaktur senior JAWA POS, kini pemimpin redaksi RADAR MALANG.

KALIMAT-KALIMAT PENDEK

Dahlan Iskan suka kalimat-kalimat pendek. Antikalimat panjang, apalagi yang beranak-pinak alias kalimat majemuk bertingkat.

“Bagaimana kalau kalimatmu dipotong? Dibagi dua atau tiga,” ujar Pak Bos kepada seorang pemimpin redaksi (kini bekas).

“Enak mana: kalimat panjang atau pendek?” tanya Pak Bos. “Enak pendek, Pak Bos,” jawab si pemred yang sebelumnya suka pakai kalimat majemuk.

Kalimat-kalimat pendek kerap ‘melawan’ aturan tata bahasaIndonesia. Sebab, kalimat dipotong sebelum waktunya. “Anak kalimatkantidak bisa berdiri sendiri?” protes editor bahasa.

Tidak apa-apa, kata Pak Bos. Alasannya, tulisan di koran harus mudah ditangkap pembaca. Kalau kalimat-kalimat si wartawan terlalu panjang, pembaca akan capek. Dan dia tidak mau baca koran lagi. Toh, koran bukan kitab tata bahasa.

Petikan tulisan Dahlan Iskan di JAWA POS, 21 September 2007:

“Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar jangan mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi sebenarnya penting.

Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa membawa pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian. Deskripsi yang kuat bisa membuat pembaca seolah-olah merasakan sendiri kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto.

Inilah salah satu kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus jurnalistik audio visual.

Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi lincah.

Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu — direct quotation — juga harus pendek-pendek.

Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.”

MENULIS SEPERTI BERBICARA

Gayabicara Pak Bos hampir sama dengan gayanya menulis. Ini membuat beliau tidak susah mengalihkan wacana di kepala ke dalam tulisan.

Spontanitas, humor cerdas, cerita-cerita menarik, keluar begitu saja.

KALIMAT SEDERHANA, NARATIF

Kalimat-kalimat sederhana memang jadi ciri khas Dahlan Iskan. Tulisannya selalu bertutur alias naratif.

Sebelum ada gembar-gembor jurnalisme naratif, jurnalisme baru, jurnalisme sastrawi, Dahlan Iskan sudah melakukannya sejak 1980-an. Berbeda dengan GOENAWAN MOHAMAD yang puitis, berusaha menemukan kata yang benar-benar pas, kalimat-kalimat Dahlan Iskan mengalir begitu saja.

“Tulisannya gampang diikuti, enak pokoknya,” ujar AAN ANDRIYANI, staf sebuah dealer sepeda motor di Surabaya, kepada saya.

Bahasa Pak Bos tidak ‘ndakik-ndakik’, penuh kata asing, sok ilmiah, mbulet… karena dia ingin pembaca koran, ya, semua warga, menangkap apa yang ditulisnya. Buat apa menulis kalau tidak dibaca karena kalimat-kalimatnya mbulet gak karuan?

MEMORI YANG SANGAT KUAT

Kalau wartawan-wartawan lain sibuk mencatat, merekam, jemprat-jepret… Dahlan Iskan tenang-tenang saja saat wawancara. Dahlan Iskan tidak pernah mencatat kata-kata sumber atau data-data.

Dia menyimak penjelasan sumber dengan serius. Sekali-sekali ia menukas atau ‘memancing’ agar si sumber mengeluarkan pernyataan atau kata-kata yang ‘hidup’. Inilah bedanya dengan wartawan biasa!

Saya sendiri terkejut melihat Dahlan Iskan tidak mencatat atau merekam wawancaranya dengan pejabat atau sumber mana pun. Mencatatnya, ya, di otak saja. Tapi besok, silakan baca koran-koran. Dijamin tulisan Dahlan Iskan jauh lebih bagus, hidup, enak, lengkap, dibandingkan wartawan-wartawan lain yang supersibuk. Tulisannya bisa tiga bagian panjang, sementara reporter lain hanya mampu membuat tulisan pendek.

Data-data Dahlan lengkap. Interpretasi dan ramuannya yang khas membuat tulisannya lebih bernas. “Itu bakat Pak Bos, nggak ada sekolahnya,” kata SLAMET URIP, bekas wartawan senior JAWA POS, yang juga ‘suhu’ para wartawan muda di Grup Jawa Pos.

BANYAK MEMBACA

Dahlan Iskan pembaca yang rakus. Buku tebal ia habiskan hanya dalam beberapa jam saja. Kalau perlu, dia melekan (bergadang) demi menamatkan bacaannya.

Novel AROK DEDES (Pramoedya Ananta Tour), misalnya, diselesaikan Dahlan Iskan hanya dalam tempo beberapa jam saja. Lalu, dia buat catatan tentang novel itu. Dahlan juga bikin catatan tentang novel SUPERNOVA (Dee) setelah melahap novel itu dalam hitungan beberapa jam saja.

Mengapa Dahlan suka baca buku-buku tebal di ruang redaksi, disaksikan wartawan? Saya pikir, secara tidak langsung Pak Bos mau mengajarkan bahwa wartawan/redaktur harus banyak baca. Tulisan yang bagus hanya lahir dari tangan mereka-mereka yang rakus baca. Kenapa tulisan wartawan sekarang umumnya jelek, kering, datar-datar? Salah satunya, ya, karena kurang baca.

TURUN KE LAPANGAN, KERJA KERAS

Tulisan Dahlan Iskan hidup karena berangkat dari pengalaman sendiri. Based on his own experiences! Apa yang dilihat, didengar, dihidu, diraba, dikecap… itulah yang ditulis.

Dahlan sangat mobil. Pagi di Surabaya, siangJakarta, sore, makassar, malam mungkin di Singapura. Besoknya Tiongkok, luas Amerika… dan seterusnya. Ini membuat Pak Bos sangat kaya pengalaman, kaya penglihatan, kaya wawasan. Dia tinggal ‘memanggil’ memorinya dan jadilah tulisan yang hidup.

Dahlan Iskan pernah membuat tulisan menarik tentang pengalaman naik pesawat supersonik CONCORDE yang kini sudah almarhum itu. Dia bikin pembaca seakan-akan ikut menikmati pesawat supercepat, supercanggih, supermewah, buatan Prancis itu.

KUASAILAH BANYAK BAHASA

Di balik penampilan yang sederhana–sepatu kets, kemeja tidak dimasukkan, tak pakai ponsel–Dahlan Iskan pribadi yang dahsyat. Sangat cepat belajar! Bahasa Tionghoa yang sulit, aksara hanzhi yang aneh dan ribuan jumlahnya, ditaklukkan Dahlan dengan modal tekad baja. “Saya harus bisa,” katanya.

Maka, dia panggil guru privat, les di Graha Pena. Tak puas diSurabaya, Dahlan pindah domisili di Tiongkok selama beberapa bulan agar bisa berbahasa Tiongkok. Beberapa saat kemudian, Dahlan Iskan sudah kirim CATATAN DARI TIONGKOK secara bersambung. Sangat menarik. Respons pembaca luar biasa.

CINTAILAH SASTRA

Ingat, Dahlan Iskan ini bekas wartawan TEMPO. Majalah yang dibuat oleh tangan-tangan trampil berlatar sastrawan. Goenawan Mohamad, Bur Rasianto, Syubah Asa, Putu Wijaya, Isma Sawitri, dan nama-nama besar lainnya.

Mereka-mereka ini praktisi sastraIndonesia. Mereka peminat kata. Terbiasa membuat kalimat yang indah, yang tidak klise. Dahlan Iskan, meski jarang menulis puisi atau novel, jelas seorang sastrawan. Dia bersastra lewat reportase atau kolom-kolomnya di koran.

Pak Bos pun budayawan. Tak heran, di Surabaya dia giat sekali dalam komunitas dan kebudayaan Tionghoa. Dia pun ketua umum persatuan olahraga barongsai yang akhir 2006 silam sukses menggelar kejuaraan dunia diSurabaya. Kiprah semacam ini menambah ‘basah’ tulisan-tulisannya.

MENULIS LANGSUNG JADI (PRESSKLAAR)

Dahlan Iskan tidak butuh waktu lama untuk menulis. Tak sampai satu jam Pak Bos sudah menyelesaikan tulisan panjang untuk halaman satu JAWA POS.

“Sudah, silakan dilihat, silakan diedit. Jangan lupa kasih judul,” begitu kata-kata khas Dahlan Iskan usai membuat tulisan.

Dahlan tidak pernah membaca ulang, apalagi mengubah kalimat-kalimatnya. Sekali menulis, selesai, dan selanjutnya urusan redaktur untuk mengecek salah ketik dan sebagainya. Dimuat atau tidak, urusan redaksi.

Sumber : http://pesantrenpenulis.org/