Oleh
: Eko Hastuti
Sebagian
orang ada bersikap apatis ketika umur semakin udzur. Semangat turun gairah
melemah dari hampir semua aktifitas hidup. Yang terasa hanya mudah lelah dan
gampang mengeluh. Hasilnya, hidup terasa sepi, sunyi dan tak berarti lagi.
Seakan badan sudah bau tanah atau masa tinggal menjemput maut. Sementara mereka
tak pernah tahu kapan maut datang menghampirinya. Jelas, sikap ini hanya
membuang-buang waktu saja. Atau menjadi cerminan bahwa mereka tidak bersyukur
telah diberi karunia panjang umur. Tentu pandangan mereka berdampak terhadap
kualitas hidupnya sehingga menjadi turun drastis. Tidak produktif lagi.
Boro-boro punya dedikasi, bahkan prestasi sebagai puncak kinerja sepanjang
hidupnya. Mereka merasa menjadi beban hidup bagi keluarganya (anak cucunya).
Hari-hari pun terasa hampa. Masa-masa lalu satu per satu muncul silih berganti.
Luka lama seakan ternganga lagi. Kegagalan demi kegagalan, kekecewaan demi
kekecewaan, dan kebencian demi kebencian terkuak di pelupuk mata. Rasa dongkol,
sedih, marah karena telah dikhianati membara di saat memori melintas sekejap di
ujung mata. Semakin angan melambung
tinggi, kedukaan pun semakin dekat tersaji. Kebencian memuncak, penyesalan
membuncah menyesaki dada serasa mau pecah. Memori yang hitam pekat, semakin
kental nampak gelap. Menyelimuti hati jadi perih dalam raga dan jiwa yang
semakin ringkih. Lebih ironis lagi bila kenyataan ini melanda kaum muda yang
seharusnya sedang semangat-semangatnya merintis karier hidup. Atau sedang
membara menjemput cinta untuk menuju ke mahligai rumah tangga.