(Arsip Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis Tahun 2010)
Pengadaan
barang dan jasa pemerintah merupakan konstruksi kontrak publik yang menggunakan
anggaran Negara baik bersumber dari APBN maupun APBD. Konsekuensinya pemerintah
dituntut kesiapannya dalam mengalokasikan anggaran tersebut. Pelaku usaha juga
dituntut mampu memberikan prestasi yang seefisien mungkin dan mencegah
praktik-praktik curang. Di samping itu pemerintah dan pelaku usaha juga menghadapi
dua pilihan terbuka yakni kompetisi internasional dan tuntutan desentralisasi
yang keduanya menuntut kemampuan daya saing.
A. Indeks Daya Saing Bisnis
Menurut
Global Competitiveness Report 2003-2004,
Indonesia berada pada peringkat bawah untuk ranking indeks daya saing
pertumbuhan. Kedudukan Indonesia di lingkungan regional (ASEAN) juga berada
pada peringkat paling rendah. Hal tersebut disebabkan antara lain birokrasi
yang tidak efisien, ketidakstabilan politik, dan para pelaku usaha belum
diperlakukan setara dengan pelaku usaha asing.
B. Indeks Daya Saing Lembaga Publik
Kredibilitas
lembaga publik menjadi indikator bagi daya saing pertumbuhan. Dalam hal ini pun
Indonesia pada peringkat 75, masih di bawah Negara Asia Tenggara. Dalam hal
penggunaan teknologi Indonesia berada pada peringkat 78, sedang masalah korupsi
pada peringkat 88 dari 102 negara yang disurvei. Indonesia mempunyai rekor
korupsi yang cukup fantastis, sebagai Negara paling korup di Asia. Bank Dunia
menilai bahwa Indonesia pada titik kritis memerangi korupsi.
Pada
sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah, Indonesia belum dapat menghemat keuangan Negara malah
menjadi lahan subur praktik korupsi. Pelaku usaha nasional juga belum
kompetitif karena kredibilitas pelaku usaha kurang dan pemerintah kurang
berperan memfasilitasi melalui regulasi yang berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi.
Pada
sektor jasa konstruksi, para pelaku usaha perlu didukung oleh pemerintah dengan Pemodalan yang cukup, manajemen yang baik, dan kepemilikan peralatan esensial agar dapat
bersaing dengan kontraktor asing. Pelaku usaha jasa konstruksi juga perlu
mengikuti program ISO agar mampu menghasilkan output secara tepat waktu dan
tepat mutu. Dukungan pemerintah juga dapat berupa kebijakan-kebijakan yang
memihak pelaku usaha domestik, seperti aturan mekanisme pemberlakuan
sub-kontrak agar tidak terjadi monopoli, fasilitasi untuk kemudahan jaminan
perbankan, dukungan pemodalan, dan pengelolaan SDM konstruksi.
Dana pemerintah untuk peningkatan
infrastruktur pada tahun 2008 meningkat dari 24 triliun menjadi 35,6
triliun. Hal tersebut menuntut kesiapan
semua pihak mengingat pekerjaan bidang konstruksi semakin banyak. Hal lain yang
perlu diwaspadai adalah badan usaha bidang konstruksi di Indonesia masih banyak
bergerak di pasar pemerintah. Sebaiknya mereka lebih banyak bermain di pasar
non pemerintah (DPU) agar saatnya pasar terbuka diperlakukan, dapat bersaing
dengan pihak asing. Untuk itu, DPU dan LPJKN melaksanakan MoU dalam penggunaan fasilitas DPU dan Depnakertrans
untuk melatih tenaga-tenaga konstruksi agar mereka mampu menjadi raja di negeri
sendiri.
Pelaku
usaha masih dihadapkan dengan masalah proses sertifikasi badan usaha (SBU)
sebagai syarat dalam proses pengadaan
jasa konstruksi. Hal tersebut mempunyai banyak masalah, antara lain
ketidaksiapan penerapan system TI dan aturan main yang dilanggar sendiri oleh
LPJKN. Kendala pada system TI yakni adanya kehilangan data-data yang sudah
diregistrasi dari daerah dan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh LPJKD sendiri
dengan asosiasi konstruksi. Faktanya, LPJKD menerima proses registrasi banyak
perusahaan konstruksi tanpa melalui jalur asosiasi. Contoh : sebuah perusahaan
konstruksi asal Pacitan dengan sejumlah uang mampu mempercepat proses asosiasi
dalam waktu satu minggu, padahal kalau melalui asosiasi bisa sampai 2-3 minggu.
Contoh lainnya adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah kasus
dugaan Pelanggaran UU No. 5/1999 dalam tender pengadaan LCD di Biro
Administrasi Wilayah Sekretariat Daerah DKI Jakarta Tahun Anggaran 2006.
Berkaitan dalam hal tersebut, Keputusan KPU terhadap pelanggaran UU No 5 Tahun
1999 adalah sebagai berikut : Pelaku
usaha yang melakukan tender kolusif, yakni pelanggaran pasal 22 adalah PT Sima
Agustus ( Terlapor I), PT Tiga Permata Hati (Terlapor II), PT Buana Rimba Raya
(Terlapor III) dan Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Unit Biro Administrasi
Wilayah Sekretariat Provinsi DKI
Jakarta ( Terlapor IV) dan Kepala Biro Administrasi Wilayah Sekda Provinsi DKI
Jakarta (Terlapor V). Pemerintah mewajibkan para pelapor membayar ganti rugi
kepada Negara sebesar 250 juta bagi PT Sima Agustus dan 50 juta bagi PT Tiga
Permata Hati dan PT Buana Rimba Raya.
Hasil
pemeriksaan awal kasus tersebut bermula ketika PT Tiga Permata Hati memenangkan
tender pengadaan LCD sebanyak 267 unit dengan nilai penawaran sebesar RP.
5.185.860.900. PT Buwana Rimba Raya juga mengikuti tender dengan dengan
menawarkan LCD merek Mega Power Tipe ML 164 SE yang distributor tunggalnya PT
Sima Agustus.
Setelah
dilakukan pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa, maka Majelis Komisi menilai bahwa :
1. Terlapor I dan III adalah perusahaan
yang dipinjam oleh M.Bahri, Moh. Iqbal dan Jeffry Bunyamin yang secara
bersama-sama menawarkan LCD yang distributor tunggalnya Terlapor I dalam
mengikuti tender pengadaan LCD.
2. Dokumen penawaran Terlapor II dan III
disiapkan dan dibuat oleh M. Bahri dan
Moh Iqbal dengan melibatkan Jeffry Bunyamin, sehingga harga penawaran dapat
diatur sehingga dapat memenangkan Terlapor II.
3. Walaupun Terlapor II dan III
menyatakan tidak terlibat dan tidak tahu, namun keduanya tidak dapat menghindar
dari tanggungjawab atas keterlibatan
perusahaan dalam persengkokolan dalam tender.
4. Persengkokolan antara Terlapor I, II,
III dengan Terlapor IV dan V yang melibatkan M.Bahri, Moh Iqbal dan Jeffrey
Bunyamin dibuktikan melalui penentuan spesifikasi teknis, perolehan surat
dukungan sebelum aanwijzing, kesamaan
dokumen, alasan menggugurkan peserta lain secara tidak sah, penetapan pemenang
sebelum masa sanggah selesai, dan pembayaran uang muka sebelum adanya Surat
Perintah Mulai Kerja.
Majelis
Komisi merasa perlu menjatuhkan sanksi kepada ketiga orang tersebut. Majelis
Komisi juga merekomendasikan kepada Pemerintah DKI Jakarta untuk
1. memberikan sanksi administrasi kepada
Terlapor IV dan V sesuai perundang-undangan yang berlaku.
2. melakukan evaluasi dalam perekrutan
pihak-pihak yang akan terlibat dalam tender pengadaan barang dan jasa di
lingkungan pemerintah Prov DKI Jakarta untuk menghindari persengkokolan dalam
tender.
3. menertibkan peserta tender untuk
menghindari praktik peminjaman perusahaan dan pencalonan dalam proses tender di lingkungan pemerintah
Prov DKI Jakarta.
Berdasarkan alat bukti yang telah diuraikan di atas, maka Majelis Komisi
memutuskan :
1. Menyatakan Terlapor I, II, III, dan IV terbukti melanggar ketentuan
Pasal 22 Undang-Undang No.5 Tahun 1999.
2. Menghukum Terlapor I agar tidak memasok barang/jasa di lingkungan
Pemda Prov DKI selama 2 tahun sejak putusan tersebut memiliki kekuatan hukum.
3. Menghukum Terlapor I dan II untuk tidak mengikuti tender pengadaan
barang dan jasa di lingkungan Pemda Prov
DKI selama 2 tahun sejak putusan tersebut memiliki kekuatan hukum.
4. Menghukum Muhammad Bahri, Moh Iqbal, dan Jeffrey Bunyamin untuk tidak
mengikuti tender pengadaan barang/jasa di lingkungan Pemda Prov DKI Jakarta
selama 2 tahun sejak putusan tersebut memiliki kekuatan hukum.
5. Menghukum Terlapor I membayar ganti rugi kepada Negara sebesar
250.000.000 yang harus disetorkan ke Kas Negara.
6. Menghukum Terlapor II dan III membayar ganti rugi kepada Negara
masing-masing sebesar 50.000.000 yang harus disetor ke KasNegara.
Pemeriksaan dan
penyusunan putusan terhadap perkara No.4/KPPU-L/2007 dilakukan oleh KPPU dengan prinsip independensi, yaitu tidak
memihak siapapun.
Pelanggaran terhadap UU No.5 Tahun 1999 bagi pelaku usaha dapat dikenai
pelanggaran UU kepegawaian, maupun UU tindak pidana korupsi. Pelanggaran
tersebut sangat merugikan kepentingan publik ( sebagai pembayar pajak) karena
pengadaan barang dan jasa sebagian besar dari pajak.
Pelaku usaha Indonesia yang mampu bersaing
secara kompetitif, transparan dan fair contohnya adalah konsorsium PT KHI Pipe
Indrustries dan konsorsium PT SEAPI. Keduanya anggota Gapipa (Gabungan Pabrik
Baja Indonesia).Konsorsium industry dalam negeri yang memenangkan tender pipa
menyediakan pipa baja sepanjang 480 kilometer dengan nilai kontrak 2,168
triliun.Fakta tersebut menunjukkan bahwa produsen dalam negeri sudah mampu
bersaing dengan produsen luar negeri dalam soal harga, spesifikasi maupun
penyerahan.
Penyebab
lemahnya daya saing pelaku usaha Indonesia adalah
1.
Korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dalam hal pengadaan barang dan
jasa
2.Tuntutan regulasi yang kompleks
menjadi kendala bagi pemerintah sehingga
dibutuhkan fleksibelitas dan dinamika yang akseleratif.
3. adanya kontradiksi antara pemerintah
dan pelaku usaha dalam hal tujuan. Pelaku usaha bertujuan keuntungan,
pemerintah bertujuan politis.
Pelaku usaha memperoleh uang dari pelangan, pemerintah dari pajak.
Pelaku usaha dikendalikan oleh kompetisi, pemerintah oleh monopoli.
4.Adanya ketidakseimbangan antara
pemerintah dan pelaku usaha. Posisi pemerintah dihadapkan pada pisisi yang
tidak mudah.
a. Ketika berhasil 99% tidak ada
orang yang mempedulikannya, tetapi ketika melakukan satu kesalahan maka mati
resikonya.
b.
Pemerintah yang bersifat demokratis dan terbuka membuat keputusan lebih lambat,
padahal dunia bisnis menuntut keputusan lebih cepat dan tepat.
c.
Misi pemerintah adalah bagaimana membuat kebijakan yang baik dan dapat
diterima konstiten, sementara pelaku usaha dengan kalkulasi untung rugi.
d. Pemerintah harus melayani warga
masyarakat secara sama tanpa memperhitungkan kemampuan mereka membayar.
C.
Penyimpangan dalam Tahapan Tender
Berdasarkan
penilaian Bank Dunia, pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di Indonesia masih
diwarnai banyak penyimpangan. Sedang menurut data pada BPPN, setiap tahapan
dalam pengadaan barang dan jasa mengandung berbagai kelemahan yang potensial
yang menyebabkan penyimpangan oleh pemerintah maupun pelaku usaha.
Kesimpulan tentang kesiapan Indonesia
dalam menghadapi liberalisasi pengadaan barang dan jasa adalah sebagai berikut
:
1. Pada sisi hukum pengadaan barang dan
jasa masih terdapat kesimpangsiuran baik secara substansi maupun penegakkannya.
2. Pengadaan barang dan jasa pemerintah
yang berkaitan dengan desentralisasi belum diatur secara khusus dan telah
menyimpang.
3. persoalan tender dalam lintas Negara
perlu diatur dalam paraturan perundang-undangan sebagai respon terhadap
liberalisasi pengadaan barang dan jasa.
4. Baik pemerintah maupun pelaku usaha
belum siap dalam menghadapi kompetisi internasional dalam pengadaan barang dan
jasa
Aparatur
Negara merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) bersama dengan dunia
usaha (private sector) dan masyarakat
(civil society). Ketiga unsure
tersebut harus berjalan selaras dan serasi dengan peran dan tanggungjawab
masing-masing. Kunci keberhasilan pelaksanaan good governance adalah pihak
aparatur pemerintah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. besarnya kemauan pemerintah, dan kemampuan politik secara konsisten dan
sungguh-sungguh,serius dalam pemberantasan KKN serta perubahan mind-set.
2.
meningkatkan kesamaan persepsi dalam tujuan, pola tindak serta rencana
3.
memanfaatkan teknologi informasi dalam pemberantasan KKN
4. adanya kesepakatan penerapan Single Identity Number (SIN), pembaruan
peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan penataan system peradilan.
D. Sikap dan Kondisi Pemerintah
Kondisi kemampuan dan daya saing pelaku
usaha nasional dalam menghadapi
liberalisasi pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah sebagai berikut :
1. termasuk Negara berkembang yang belum
mempunyai kesempatan untuk bergabung dengan GPA, karena pembuat kebijakan
Negara tidak mempunyai pengetahuan yang memadahi tentang GPA, kurangnya
informasi yang disampaikan oleh masyarakat internasional, kurangnya SDM yang
mendalami.
2. telah mempertimbangkan kemungkinan
untuk bergabung dengan GPA, tetapi berhubung biaya keseluruhan (total cost) melebihi keuntungan jika
bergabung dengan GPA, akhirnya memutuskan untuk tidak bergabung, negara
berkembang telah mengajukan accession terhadap
GPA tetapi belum berhasil.
Melakukan
perhitungan antara biaya dan keuntungan (costs
and benefits) dapat diidentifikasi melalui dua macam biaya :
1. biaya administrasi pada tahap
permulaan dengan proses memperoleh akses terhadap GPA. Biaya tersebut meliputi
biaya persiapan negosiasi ( pengumpulan data GPA, biaya studi tentang dampak
dari akses di tingkat ekonomi domestic dan pembentukan pranata kelembagaan, dan
biaya pelatihan bagi personil yang diperlukan, biaya keterlibatan dalam proses
negosiasi dan proses aksesi).
2. biaya sosial dan ekonomi dari aksesiquot;; font-size: 12pt; line-height: 150%;
GPA adalah berkurangnya domestic procurement
supplies dan tenaga kerja, biaya administrasi, serta biaya untuk
mengumpulkan dan melaporkan data sttistik tentang pengadaan barang dan jasa
pemerintah.
Sikap Pemerintah
Indonesia dalam menghadapi liberalisasi pengadaan barang dan jasa
Sebaiknya
pemerintah mengambil langkah : tidak bergabung dengan GPA-WTO, membuat
perjanjian bilateral di bidang pengadaan barang dan jasa, melakukan reformasi
pengadaan barang dan jasa yang transparan dan kompetitif serta secara selektif
memberikan akses pasar kepada pelaku usaha asing untuk menciptakan persaingan
dalam level yang lebih tinggi, lebih efisien, dan lebih banyak pilihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar