Kita
merencana, Tuhan yang menentukan. Pepatah itu memang cocok untuk cerita
mungil ini. Semula sih berencana untuk mengisi acara tahun baru-nan. Dari pada
hanya di rumah saja, kami sepakat mengadakan travelling domestik alias
jalan-jalan di sekitar kota Wonosobo saja.
Yah, cari udara segar dan pemandangan indah sekaligus hunting foto. Agenda awal berjalan lancar. Perkebunan Teh Tambi , di Kecamatan Kejajar menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Hijaunya daun teh, hamparan bukit dengan beground pegunungan Dieng, serta arak-arak awan yang menyebar di setengah badan gunung sungguh mempesona. Tanaman kentang dan bunga kol yang lagi subur-suburnya menjadi pemandangan tersendiri karena berjajar rapi seolah berseri menyambut pagi. Semilir angin, sepoi –poi membelai kulit kami yang mulai merasa dingin. Ah…pesona alam pegunungan yang luar biasa. Dengan terpaksa, kami tinggalkan panorama itu untuk melaju ke tempat lain, mengejar Telaga Menjer.
Yah, cari udara segar dan pemandangan indah sekaligus hunting foto. Agenda awal berjalan lancar. Perkebunan Teh Tambi , di Kecamatan Kejajar menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Hijaunya daun teh, hamparan bukit dengan beground pegunungan Dieng, serta arak-arak awan yang menyebar di setengah badan gunung sungguh mempesona. Tanaman kentang dan bunga kol yang lagi subur-suburnya menjadi pemandangan tersendiri karena berjajar rapi seolah berseri menyambut pagi. Semilir angin, sepoi –poi membelai kulit kami yang mulai merasa dingin. Ah…pesona alam pegunungan yang luar biasa. Dengan terpaksa, kami tinggalkan panorama itu untuk melaju ke tempat lain, mengejar Telaga Menjer.
Meski sudah dua
puluh dua tahun kudengar pesonanya, tersiar keindahannya, dan kurasakan
pernik-pernik mitosnya, namun baru kali itu kulihat dengan mata kepalaku
sendiri. Benar, Telaga Menjer sungguh indah. Berbatas tebing tinggi di antara
pegunungan yang gagah menjulang, di bawah pohon-pohon cemara yang tegar menatap
langit, dan berselimut hawa dingin menusuk tulang, benar-benar menawan. Berpasang-pasang
muda-mudi yang menjalin janji (kali nih) seolah menepis mitos bahwa muda-mudi
yang berpacaran di sana akan berpisah (putus). Buktinya mereka tidak takut
dengan perpisahan dua sejoli yang menyakitkan hati itu. Yah..pesona Telaga
Menjer terekam dalam lubuk hati. Meski kami tinggalkan namun keindahannya tak
lekang dimakan waktu hingga Perkebunan Tambi Tanjungsari, Wonosobo menyapa
kami.
Maunya sih
mengulang pesona kebun teh Tambi. Namun, sesampainya di Tanjungsari hujan turun
sangat deras. Baru seratus meter kami masuk pintu gerbang setelah membayar
karcis 15 ribu perorang, baju kami basah. Hiruk-pikuk balap motor yang sedang
digelar di lapangan Tanjungsari semakin membuyarkan kedamaian alam yang terbayangkan akan kami
temui. Ramainya penonton balap motor menyesakkan kami saat ingin berteduh.
Akhirnya, kami kembali keluar mencari warung untuk seteguk teh panas dan sesuap
nasi. Lagi-lagi hanya kesal yang kami dapat. Teh yang terhidang hanya
hangat-hangat tahi ayam dan taksesedap seduhan teh kami di rumah. Nasi yang
kami santap pun dingin dan keras membuat
perut semakin mules. Setelah beberapa waktu, hujan agak reda tinggal gerimis
tipis. Kami memberanikan diri masuk lokasi lagi, kebetulan ada mobil yang akan
membawa kami berkeliling di perkebunan. Walaupun jok mobil basah, kami
takpeduli. Setelah lima, sepuluh, dua puluh menit kami menunggu, mobil
berangkat pelan-pelan. Semakin menanjak semakin keras deru mobil meniti jalan
yang semakin terjal. Baru sekejap menikmati pemandangan hamparan teh yang
sungguh sedap, hujan kembali turun. Kaca mobil tertutup tetesan air, sopir pun mengingatkan
agar berpegangan kuat. Rasa khawatir mulai hadir, rasa takut mulai datang,
jangan…jangan…mobil mogok. Eh…sopir takkalah aksi, sambil nyetir tangan
kanannya ngelap kaca yang basah. Berkali-kali aksi itu dilakukan sopir hingga
membuat kami tertawa geli. Hingga…tertawa kami tertutup rapat saat tiba-tiba
mobil oleng ditanjakan berikutnya. Lalu…” A.a..a….” teriak kami bersamaan.
Mobil terperosok dan miring nyangkut di sebatang pohon. “ Astaga, ….andai mobil yang mirip minibus tanpa kaca jendela
itu tidak nyangkut di pohon….”. Aku tak sanggup berandai-andai, karena di sisi
pohon adalah pohon teh dengan posisi miring dan berujung lereng yang landai di
atas sungai. Satu-persatu di antara kami meloncat turun lalu meneruskan perjalanan dengan
berjalan kaki di bawah rintik hujan yang lumayan rapat. Meski kami dapat gratisan naik mobil tersebut, namun kami
harus menebus dengan jalan kaki sampai di pintu masuk yang entah berjarak
berapa kilo.
Benar..benar..kenangan
yang takterlupakan. Salam buat Mas Sopir, makasih ya telah mengantar kami walau
tidak sampai tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar