Kamis, 25 November 2010

PERLUNYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN

Latar Belakang
Laju perekonomian sangat berpengaruh terhadap kemajuan bangsa dan Negara Indonesia. Naik turunnya atau maju mundurnya dunia perekonomian langsung berdampak terhadap perilaku dan tingkat kesejahteraan hidup masyarakat kita. Oleh karena itu, seluk-beluk perekonomian dan perkembangannya selalu mendapat perhatian dari masyarakat dan pemerintah. Berbicara tentang perekonomian tidak lepas dari dunia persaingan. Bisnis yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, atau perusahaan/organisasi identik dengan persaingan. Semua pelaku bisnis bertujuan untuk mendapat keuntungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Friendman, bahwa bisnis adalah suatu perusahaan komersial, profesi atau perdagangan yang didirikan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Suatu bisnis diciptakan oleh para entrepreneur yang menempatkan uangnya dalam risiko tertentu untuk mempromosikan usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Yang kemudian menjadikan masalah adalah motivasi untuk memperoleh keuntungan dilakukan dengan berbagai cara yang sering merugikan konsumen. Persaingan usaha tidak sehat bahkan terjadi pula praktek monopoli. 70 % kekayaan Indonesia dikuasai oleh ±300 perusahaan konglomerat. Tentu hal ini menambah tingkat persaingan yang hanya 30% dan diperebutkan oleh ratusan juta penduduk. Sering terjadi persaingan usaha yang tidak jujur dalam menjalankan kegiatan produksi dan pemasaran barang atau jasa melawan hukum dan menghambat persaingan usaha. Kondisi tersebut semakin membuat konsumen dalam posisi dirugikan. Konsumen yang menggunakan atau mengkonsumsi barang /jasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, atau orang lain dan tidak diperdagangkan sering tertipu dengan kualitas barang yang tidak sesuai dengan harganya. Kualitas barang sudah jelek/kadaluwarsa, kondisi barang yang tidak utuh, pelayanan jasa yang tidak sesuai, atau adanya permainan harga yang tidak menentu. Ada lagi kasus pemalsuan produk yang bisa membahayakan konsumen entah berupa produk kecantikan, produk kesehatan, atau produk untuk dikonsumsi. Kenyataan tersebut menyadarkan kita perlunya ada perlindungan hukum bagi konsumen. Bentuk-bentuk pelanggaran hak konsumen apa sajakah yang banyak terjadi di masyarakat? Apa saja yang harus dilakukan konsumen agar terhindar dari kecurangan pelaku usaha? Apa saja hak dak kewajiban pelaku usaha yang seharusnya diketahui? Bagaimana solusi yang diambil bila terjadi pelanggaran hak konsumen? Tulisan ini akan membahas berbagai masalah seputar pelanggaran hak-hak konsumen dan solusinya.
Evaluasi yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan bahwa selama tahun 2004, bidang pengaduan YLKI menerima 457 pengaduan konsumen (melalui surat dan datang langsung). Dari banyaknya kasus tersebut, sepuluh besar komoditas yang diadukan ke YLKI berturut-turut adalah bidang perumahan 76 pengaduan, listrik 67 pengaduan, PDAM 66 pengaduan, jasa telekomunikasi 54 pengaduan, bank 38 pengaduan, produk elektronik 24 pengaduan, jasa transportasi 19 pengaduan, asuransi 18 pengaduan, leasing 15 pengaduan, produk makanan/minuman 10 pengaduan.

Pusat data YLKI mencatat kasus keracunan makanan di Indonesia sepanjang tahu 2004 lebih dari 53 kejadian, dengan korban lebih dari 2.000 orang, baik yang dirawat di rumah sakit maupun tidak.
Sementara itu, sepanjang tahun 2009 kemarin sebanyak 31 kasus sengketa konsumen dan pelaku usaha dilaporkan ke Departemen Perdagangan sepanjang 2009 ini. Adapun sebanyak 128 kasus sengketa konsumen dilaporkan tidak langsung melalui media cetak dan elektronik.
Tingginya laporan sengketa konsumen saat ini lebih banyak diselesaikan lewat pengadilan akibat ketidaktahuan masyarakat tentang adanya lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sengngketa konsumen saat ini lebih banyak lewat pengadilan. Padahal ada lembaga khusus yang menangani," kata Sekretaris Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Depdag Gunaryo, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (19/6/2009).
Dari 31 kasus pengaduan konsumen, sebagian besar sedang dalam proses penyelesaian dan sisanya sudah diselesaikan. Pada umumnya, sengketa tersebut dari penggunaan elektronik, makanan dan minuman, automotif, jasa, asuransi perbankan, leasing (pembiayaan), dan komunikasi. Gunaryo sendiri mengakui, belum maksimalnya pemanfaatan lembaga tersebut karena sosialisasi yang belum optimal dilakukan Pemda.
Kasus Prita Mulyasari yang beberapa waktu yang lalu menyita perhatian publik juga termasuk kasus pelanggaran hak konsumen. Pidana pencemaran nama baik dengan tersangka Prita Mulyasari (32) dengan penuntut rumah sakit Omni adalah salah kaprah. Seharusnya pihak rumah sakit memberikan penjelasan kepada pasien dalam hal ini konsumen tentang kondisi kesehatan dan pemeriksaannya. ”Ini malah konsumennya dikenakan pencemaran nama baik dengan alat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” ujar Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Muslim Batam (YLKMB), Aries Kurniawan.
Pria yang juga anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Batam ini menyatakan dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (PK).
Dalam pasal 4 UU PK disebutkan hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. ”Dan tulisan Prita dalam email merupakan bentuk meminta penjelasan bukan pencemaran nama baik,” ujarnya.
Karena ini merupakan hak konsumen, jelasnya, maka sudah menjadi kewajiban rumah sakit memberikan informasi yang benar tentang kondisi pasien yang sakit.
  Hal ini tercantum dalam pasal 7 UU PK yakni Kewajiban Pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Sementara berdasarkan peraturan, pencemaran nama baik hanya bisa dilakukan kepada seseorang atau person bukan pada lembaga ataupun badan usahanya.
Di tempat terpisah, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)  Indah Suksmaningsih mengatakan Seharusnya pihak Rumah Sakit Omni menerima feed back yang dilakukan oleh Prita dan melakukan pendekatan lebih secara kekeluargaan serta menggunakan hati nurani, bukan langsung dengan jalur hukum seperti ini.
Dijelaskan Indah, bila dengan cara surat eletronik (e-mail) disampaikan Prita menimbulkan masalah, jadi harus bagaimana lagi masyarakat mengadukan keluhannya. “Kemana masyarakat harus menyampaikan keluhannya, untuk melapor ke pemerintah tidak mungkin, karena akan sia-sia saja,” paparnya.
Kasus pencemaran nama baik tersebut berawal ketika Prita menulis e-mail kepada kalangan terbatas tentang pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional. Namun, isi dari surat elektronik tersebut tersebar ke sejumlah milis sehingga rumah sakit ini mengambil langkah hukum.
Prita menyampakan hal ini dalam bentuk tulisan e-mail lantaran mempertanyakan mengapa rumah sakit internasional tersebut tidak memberikan hasil tes trombosit kepada dirinya. Padahal, tes trombosit tersebut menjadi alasan rumah sakit agar Prita dirawat inap.
Indah juga menyayangkan, RS Omni yang berskala internasional tidak mau mendengar masukan dari masyarakat, yang notabene menuju perkembangan yang lebih maju bagi rumah sakit. “Jangan mentang-mentang memiliki dana langsung menggunakan jalur hukum untuk menghadapi masyarakat kecil,” ujarnya (ars/berbagai sumber).
Kasus lain yang hingga kini terus terjadi adalah adanya konversi minyak tanah ke gas elpigi.     Niat pemerintah untuk menghemat bahan bakar minyak yang konon hampir habis tersebut ternyata banyak menimbulkan masalah. Tabung gas yang dibagikan pemerintah kepada masyarakat banyak yang meledak sehingga mengakibatkan kebakaran, kerusakan rumah, terjadi cacad fisik karena luka bakar, bahkan korban nyawa. Hal ini dimungkinkan karena kualitas barang yang kurang baik atau perilaku pemakai/konsumen yang salah. Seperti sebagian kasus terjadi tabung meledak karena selang tabulator diganti dengan selang air, di atas tabung langsung diberi kran pemutar tabung agar praktis padahal itu berbahaya, terjadi kebocoran gas pemakai tidak tahu, dan lain-lain. Fakta adanya konversi tersebut akhirnya menjadi dilema di masyarakat kecil. Ketika mau bertahan menggunakan bahan bakar minyak,  minyaknya sendiri sudah lagka di pasar. Kalau toh ada, harga minyak tanah sudah  melambung tinggi, bahkan berlipat-lipat. Apabila mau menggunakan tabung gas yang ukuran kecil, pemakai selalu dihantui dengan meledaknya tabung yang bisa berakibat fatal. Jadi, kasus kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), masyarakat konsumen tetaplah menjadi objek penderita meskipun akan diupayakan adanya subsidi dan kompensasi dalam berbagai bentuk. Ini berarti bahwa produk-produk kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, yang ditandai dengan kenaikan elpiji sebesar 41,6% dan harga BBM yang besarnya direncanakan sebesar 40% semakin memperjelas beban masyarakat sebagai konsumen akan semakin berat.
Bentuk pelanggaran hak konsumen juga terjadi di Yogyakarta. Jumlah pengaduan konsumen ke BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) Kota Jogja juga terus mengalami kenaikan. Sejak Januari, sudah ada 20 kasus pengaduan yang masuk BPSK Kota Jogja.
Padahal dari data 2008, hanya ada 50 pengaduan kasus oleh konsumen.
Selama Mei ini tercatat ada 9 kasus pengaduan oleh konsumen yang diterima BPSK. “Tujuh dari pengaduan itu sudah masuk proses arbitrase melalui persidangan, yang lainnya dalam proses,” jelas Dwi Priyono, Pegawai Kesekretariatan BPSK Kota Jogja, sekaligus Divisi Pengaduan Konsumen Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY), kemarin.
Dia menjelaskan, selama ini memang ada kecenderungan pengaduan konsumen mengalami kenaikan. “Karena tingkat kesadaran konsumen semakin tinggi dari waktu ke waktu, bahkan tak jarang pengaduan itu harus menunggu giliran untuk disidangkan karena jadwal yang penuh,”imbuhya. Jadwal persidangan di BPSK sendiri setiap minggu hanya ada dua kali, Selasa dan Kamis, dan hanya 3-4 kasus saja yang bisa disidangkan di setiap persidangan. Proses arbitrase pun maksimal harus sudah selesai dalam 21 hari sejak dimulainya sidang. Guna menyelesaikan perkara konsumen, BPSK menawarkan tiga opsi penyelesaian, yakni jalur konsiliasi, mediasi, dan arbitrase
Kasus pelanggaran hak konsumen juga terjadi di Medan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam selama tahun 2009 lalu, sudah menangani 32 kasus konsumen. “Semua kasus tersebut atas pengaduan para konsumen ke BPSK Medan,” kata sekretaris BPSK, Abdul Rahim, kepada Waspada Online, tadi sore.
Disebutkan, dari 32 kasus itu, 23 kasus diantarnya sudah selesai sesuai Herbitrase (persidangan), sedangkan 9 kasus lagi sedang dalam proses. Adapun kasus yang masuk ke BPSK itu, katanya, sengketa asuransi, leasing, barang elektronik, jasa dan barang.
Adapun contoh-contoh kasus tidak seriusnya pemerintah dalam menangani perlindungan hak-hak konsumen, adalah sebagai berikut:
a)      Kasus Ajinomoto
b)      Kasus Kratingdaeng
c)      Kasus Minuman Tradisional
d)     Kasus Obat nyamuk
e)      Kasus obat-obat impor dan lain-lain
Dan juga belum termasuk masalah-masalah yang terkait dengan pelayanan publik, seperti tarif listrik, telepon dan PDAM. Kasus-kasus tersebut hilang begitu saja, dan bahkan muncul dengan tampilan baru. Kasus-kasus tersebut tidak mampu diselesaikan secara tuntas mengingat masyarakat harus berhadapan dengan para pengusaha besar (konglomerat) yang terkadang ikut menyetir jalannya proses hukum. Dalam istilah yang sederhana bisa dikatakan bahwa konsumen Indonesia telah termakan oleh hukum yang melindungi mereka sendiri.
  
      Perlunya perlindungan bagi Konsumen
Setiap orang yang memakai barang dan / jasa yang tersedia dalam masyarakat baik untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan disebut konsumen.
Berdasarkan jenisnya, konsumen dibedakan menjadi dua yakni konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi/produk lainnya. Sedangkan konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Baik konsumen antara maupun konsumen akhir, perlu mendapat pelindungan konsumen, mengingat :
a. posisi konsumen masih sangat lemah, hal ini didukung adanya sikap apatis (masa bodoh) terhadap hal-hal yang merugikan diri sendiri ketika menghadapi
   kecurangan atau kerugian setelah menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk/jasa.
     b. tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya masih sangat kurang, sehingga kesanggupan untuk memperjuangkan hak-hak tersebut sangat rendah.
    c. hukum yang ada belum cukup menjamin kepentingan perlindungan konsumen, didukung belum mampunya aparat hukum dalam melaksanakan ketentuan perundang-undangan.
   d. tingkat pendidikan rata-rata masyarakat rendah mengakibatkan rendahnya pula kemampuan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan hidup, termasuk memperjuangkan hak konsumen.
      e. sebagian besar konsumen belum mandiri dan selektif ketika bertindak sebagai konsumen,   sehingga sering menghadapi kesulitan / kerugian sendiri.
f. Upaya perlindungan konsumen belum efektif, mengingat masih kuatnya system nilai yang kurang berpihak pada konsumen.
     
    Konsumen dilindungi haknya untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan. Banyaknya kasus pelanggaran hak konsumen harus menjadi perhatian pemerintah, karena hal itu tentu merugikan konsumen sebagai pemakai. Pelayanan yang benar dan jujur, serta tidak diskriminatif juga merupakan hak-hak konsumen yang harus diperhatikan.
   Kemenangan konsumen atas pelaku usaha dalam kasus Anny R. Gultom cs Vs Secure Parking patut mendapat apresiasi yang tinggi. Kemenangan ini sesungguhnya merupakan tonggak bersejarah bagi upaya perlindungan konsumen di Indonesia.
Sesungguhnya sudah sejak lama hak-hak konsumen diabaikan oleh para pelaku usaha, bahkan sejak lahirnya UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kasus mencuat saat ini adalah kasus obat nyamuk HIT, kasus ini merupakan cerminan bagaimana para pelaku usaha tidak mau memberikan informasi yang cukup dan memadai tentang kandungan dari obat nyamuk tersebut. Belum lagi terdapat penelitian dari suatu lembaga penelitian independen di Jakarta yang menemukan fakta bahwa pada umumnya pasta gigi mengandung bahan detergent yang membahayakan bagi kesehatan. Dalam kasus-kasus kecil, bisa terlihat dengan gamblang bagaimana perlakuan pelaku usaha yang bergerak di bidang industri retail dalam urusan uang kembalian pecahan Rp. 25,00 dan Rp. 50,00. Yang ini malah lebih parah lagi perlakuannya, biasanya diganti dengan permen dalam berbagai jenisnya (biasanya terjadi di supermarket) atau kalau tidak malah dianggap sumbangan (ini biasanya di minimarket).
  Banyak orang tidak (mau) menyadari bagaimana pelanggaran hak-hak konsumen dilakukan secara sistematis oleh kalangan pelaku usaha, dan cenderung mengambil sikap tidak ingin ribut. Dalam kasus parkir, kita bisa membayangkan jawaban apa yang akan diterima apabila konsumen berani mengajukan komplain atas kehilangan sebagian atau seluruh kendaraan yang dititipkan pada pelaku usaha? Apalagi jika kita meributkan masalah uang kembalian yang (mungkin) menurut sebagian orang tidak ada nilainya. Masalah uang kembalian menurut saya menimbulkan masalah legal – political, disamping masalah hukum yang muncul karena uang menjadi alat tukar yang sah dan bukannya permen hal ini juga mempunyai implikasi dengan kebanggan nasional kita dalam pemakaian uang rupiah.
 Hukum perjanjian yang berlaku selama ini mengandaikan adanya kesamaan posisi tawar diantara para pihak, namun dalam kenyataannya asumsi yang ada tidaklah mungkin terjadi apabila perjanjian dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen. Konsumen pada saat membuat perjanjian dengan pelaku usaha posisi tawarnya menjadi rendah, untuk itu diperlukan peran dari negara untuk menjadi penyeimbang ketidak samaan posisi tawar ini melalui undang-undang. Tetapi peran konsumen yang berdaya juga harus terus menerus dikuatkan dan disebarluaskan (anggara, org/2006).
  Dalam hal kasus BBM, apa yang dilakukan pemerintah saat ini sebenarnya bertentangan dengan ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 29 UUPK, bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan  penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Secara teknis, kewajiban pemerintah itu dilaksanakan oleh menteri, atau menteri teknis terkait.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mestinya memperjuangkan nasib rakyat, ternyata sekadar stempel pemerintah agar kebijakan-kebijakan yang diambil dapat memperoleh legitimasi dari masyarakat. Kalaupun terjadi perubahan dalam hal persentase kenaikannya, nilai perubahan itu dapat dipastikan tidak sesuai dengan kondisi yang berkembang dan tuntutan masyarakat. Rakyat menjerit karena harga-harga sudah telanjur meningkat jauh sebelum kepastian kenaikan harga BBM diputuskan. Meskipun pemerintah secara aktif dan terus-menerus melakukan sosialisasi, kenyataannya upaya tersebut tidak akan mampu mempengaruhi melambungnya harga-harga (wordpress.com/2009).
Sejumlah pengaduan di atas sebenarnya menjadi PR pemerintah.Berbagai  pengaduan mungkin akan bertambah banyak dan tidak terghitung jumlahnya dengan bertambahnya waktu dan beragamnya variasi produk, dan jasa. Pengaduan tersebut bisa secara perseorangan (individu) ataupun organisasi/ lembaga. Tapi yang perlu kita pahami di sini adalah kenyataan bahwa masyarakat, terutama masyarakat kecil tetap menjadi korban. Dengan demikian, eksistensi UUPK tampaknya semakin melenceng tidak sesuai yang sebagaimana seharusnya.
Bila kita tarik ke belakang, secara historis, UUPK lahir dimaksdukan untuk lebih memberdayakan konsumen. Konsumen tidak lagi dijadikan sebagai target pasar semata, melainkan dapat menjadi mitra dan jaminan pasar jangka panjang. Atas dasar itulah, maka pada tanggal 20 April 1999 pemerintahan Habibie mengesahkannya menjadi UU, dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2000. Ini berarti usia UUPK hampir memasuki usia 5 tahun, dan hebatnya, setiap memasuki tahun baru konsumen selalu menyambutnya dengan kenaikan harga-harga, termasuk elpiji dan BBM. 
    
       Hak-hak konsumen untuk mendapat perlindungan konsumen 
       Menurut UU No.8 Tahun 1999 tentang Hak Konsumen, adalah sebagai berikut :
     a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan / jasa.
     b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
        c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ jasa
        d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ jasa yang digunakan
        e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
        f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
        g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
        h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ pergantian, apabila barang dan/ jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
        i. Hak-Hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
 
Undang-Undang lain yang melindungi konsumen adalah
    a. UU No.3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
    b. UU No.1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
    c. UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
   d. UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
   e. UU N0.7 Tahun 1994 tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
f. UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
   g. UU No. 25 Tahun 1997 tentang Tenagakerjaan
   h. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
   i. UU No. 10 Tahun 1999 tentang Perbankan
   j. UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
   k. UU No. 30 Tahu 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
   l.  UU No. 15 Tahun 2001 tetang Merek
  m. UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
   n. UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN
   o. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
   p. UU No. 32 Taun 2004 tentang Kesehatan (Urip Salami, Rochani, HandOut)
 
 Solusi perlindungan hak-hak konsumen
Menyikapi kondisi yang terjadi saat ini, pemerintah dan lembaga-lembaga terkait tidak boleh tinggal diam. Kita memang patut mendukung upaya-upaya yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan elemen mahasiswa yang selalu mengkritisi munculnya kebijakan kenaikan harga-harga. Maka untuk menegakkan UUPK dan perlindungan hak-hak konsumen perlu di ingat dan dipertahankan sebagai berikut:
 1.  UUPK menjamin hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam pasal 04 UUPK bahwa konsumen dilindungi haknya atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (poin c). Dalam hal ini pemerintah harus dapat menjamin bahwa kenaikan harga BBM harus betul-betul didasarkan atas perhitungan untung rugi (matematik), dan barang yang diperjualbelikan benar-benar layak untuk dikonsumsi.
2.  Konsumen juga dilindungi haknya untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan (poin d). Banyaknya minyak oplosan yang beredar, harus menjadi perhatian pemerintah, karena hal itu tentu akan merugikan konsumen sebagai pemakai. Pelayanan yang benar dan jujur, serta tidak diskriminatif juga merupakan hak-hak konsumen yang harus diperhatikan. Apabila ketentuan-ketentuan di atas tidak dipenuhi secara baik oleh badan usaha (pelaku usaha dan lembaga pemerintahan), maka menjadi hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
 3. Peran serta dan keterlibatan pihak-pihak terkait seperti, Badan perlindungan Konsumen Indonesia (BPKN, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), yang diwakili oleh YLKI, serta kelompok-kelompok mahasiswa diharapkan dapat menjadi kontrol utama atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga, UUPK sangat strategis    dalam meningkatkan harkat dan martabat konsumen yang masih sering diabaikan oleh para pelaku bisnis termasuk pemerintah.
Keselarasan dan keseimbangan antara pihak penegak hukum dan konsumen yang mana konsumen adalah salah satu aset yang mana untuk menbantu dan ikut serta dalam pembangunan perekonomian di Indonesia baik secara mikro ataupun secara makro. Di perlukan ketegasan dan konsistensi penegak hokum untuk menjalankan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Maka perlu dan wajib kiranya di lindungi hak-hak konsumen terhadap produk dan jasa selama ini (wordpress.com/2009)
.  Hukum perjanjian yang berlaku selama ini mengandaikan adanya kesamaan posisi tawar diantara para pihak, namun dalam kenyataannya asumsi yang ada tidaklah mungkin terjadi apabila perjanjian dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen. Konsumen pada saat membuat perjanjian dengan pelaku usaha posisi tawarnya menjadi rendah, untuk itu diperlukan peran dari negara untuk menjadi penyeimbang ketidak samaan posisi tawar ini melalui undang-undang. Tetapi peran konsumen yang berdaya juga harus terus menerus dikuatkan dan disebarluaskan (anggara.org/2006)
    
       Hal-hal yang harus dilakukan konsumen agar terhindar dari kerugian/kecurangan pelaku usaha :
a. Bersikaplah hati-hati dan cermat saat akan membeli produk dan/ menggunakan jasa yang ditawarkan. Caranya dengan membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/ jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ jasa yang digunakan. Hal ini untuk mencegah timbulnya konflik yang tidak diperlukan
c. Membayar barang dan/ jasa yang dibeli / digunakan dengan nilai tukar yang disepakati
d. Apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat membeli dan atau menggunakan jasa tertentu, upayakan diselesaikan melalui jalur hukum yang berlaku. Hindarkan penyelesaian kasus dalam membeli produk dan / mengguakan jasa melalui cara-cara yang melanggar hukum
e. Tingkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
f. Jaga harkat dan martabat kita bila ingin dihargai oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan seperti para pelaku usaha.
g. Konsumen agar sadar akan haknya dalam menggunakan berbagai produk maupun jasa serta hati-hati.
h. Manfaatkan lembaga bantuan hokum yang ada bila menghadapi kasus pelanggaran hak konsumen.
i. Bersikap cermat dan elektif ketika membeli produk/menggunakan suastu jasa yang ditawarkan agar terhindar dari pelanggaran yang mungkin dilakukan secara sistematis oleh kalangan pelaku usaha.
j. Berani mengajukan koplain atas kehilangan hak yang dirampas oleh para pelaku usaha.
k. Melaporkan permasalahan ketidakcocokan dengan lembaga perusahaan yang merugikan konsumen kepada BPSK.
l. Tidak mudah tergiur oleh penawaran suatu produk/jasa yang ditawarkan dengan janji adanya kemudahan, kemurahan, kepraktisan suatu barang/jasa yang ternyata hanya tipu-tipuan saja, seperti kasus alat penghemat listrik. 
    
     Hak dan Kuwajiban Pelaku Usaha
    Agar tidak terjadi pelanggaran hak konsumen, hendaknya para pelaku usaha pun memahami dan mematuhi hak dan kuwajibannya dalam melakukan usaha. Konsumen adalah raja yang harus dihormati haknya dan dilayani kebutuhannya. Pelaku usaha tidak boleh melakukan usaha semaunya sendiri demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, namun tetap memperhatikan rambu-rambu/etika bisnis agar terjadi keselarasan dan keseimbangan antara preoduksen dan konsumen.
  
          Hak Pelaku Usaha menurut UU No. 8 Tahun 1999 adalah :
 a. Menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan / atau jasa yang diperdagangkan.
 b.  Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari konsumen yang tidak beriktikad tidak baik
c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen bukan diakibatkan oleh barang / jasa yang diperdagangkan.
e. Hak yang diatur dalam perundang-undangan lain.


   Kewajiban Pelaku Usaha adalah sebagai berikut :
     a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
     b. Memberi informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang / jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
    c. Melayani konsumen secara baik dan jujur, dan tidak deskriminatif.
   d. Menjamin mutu barang / jasa yang diproduksi.
   e. Memberi kesempatan pada konsumen untuk menguji / mencoba dan memberi jaminan terhadap barang dan / jasa yang diperdagangkan.
   f. Memberi kompensasi, ganti rugi / penggantian kerugian akibat pemakaian barang / jasa yang diperdagangkan.
g. Memberi kompensasi seperti tersebut di atas apabila tidak sesuai dengan perjanjian (UU No.8 Tahun 1999).


Apabila antara palaku usaha dan konsumen telah melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing, maka diharapkan tidak terjadi adanya pelanggaran hak konsumen. Untuk itu pihak pemerintah sebagai pihak pemantau dan Pembina para pelaku usaha hendaknya pro aktif dalam memberikan sosialisasi dalam hal tersebut. Melalui badan atau lembaga yang berkompeten dalam hal perlindungan hak konsumen, pemerintah respond an sigap apabila mendapat pengaduan / laporan dari mayarakat selaku konsumen. Agar pemerintah bersikap adil (tidak memihak konsumen atau pelaku usaha), sebaiknya berdasarkan pada lima azas dalam perlindungan konsumen.
 
Lima Asas dalam Perlindungan Konsumen mencakup hal sebagai berikut :
1. Asas Manfaat
    Segala upaya dalam penyelenggaraan PK harus memberi manfaat sebesar - besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan
    Partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan
    Memberi keseimbangan antara kepentingan konsumen – pelaku usaha – pemerintah dalam arti materiil atau pun spiritual
4. Asas Keselamatan dan Keamanan Konsumen
    Memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang / jasa yang dikonsumsi / digunakan.
  5. Asas  Kepastian Hukum
   Baik pelaku usaha / konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan  PK dan Negara menjamin kepastian hukum (UU No.8 Tahun 1999).
Lima asas dalam perlindungan konsumen tersebut perlu dilaksanakan agar perlindungan konsumen yang diberikan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. 

Ada pun Tujuan diberikannya Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
b. Mengangkat danmartabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negative pemakaian barang dan/ jasa
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
d. Meningkatkan system perlindungan yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
f. Meningkatkan kualitas barang dan / atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan / atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
 
   Kesimpulan
      Konsumen di akhir suatu proses produksi suatu barang atau penawaran jasa merupakan factor yang penting. Apa artinya suatu barang diproduksi dan jasa ditawarkan bila tidak dibeli atau digunakan oleh konsumen. Oleh karena itu, para pelaku usaha baik itu perorangan, kelompok, organisasi, atau perusahaan hendaknya memperhatikan sector konsumen sebelum melempar barang/ jasa ke pasar. Walaupun dunia bisnis penuh persaingan namun etika bisnis sebaiknya tetap ditegakkan. Pihak konsumen sendiri harus bersikap hati-hati, selektif, dan cermat sebelum memutuskan untuk membeli atau menggunakan jasa yang ditawarkan. Jangan sampai konsumen bersikap acuh tak acuh untuk kepentingan sendiri. Apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lakukan upaya hukum berdasarkan hukum yang berlaku. Pahami hak-hak konsumen dan tingkatkan wawasan dengan banyak membaca sehingga tidak mudah tertipu oleh berbagai tawaran produk maupun jasa yang akhir-akhir ini sangat menggiurkan.
      Baik konsumen maupun pelaku usaha hendaknya memahami akan hak dan kewajiban masing-masing, sehingga muncul keseimbangan dan keselarasan dalam dunia bisnis. Pelaku Usaha tidak lagi semena-mena dalam melakukan usaha sehingga merugikan konsumen. Konsumen juga memahami posisinya yang masih lemah, sehingga mampu membekali diri dengan kemandirian dan kehati-hatian ketika membeli suatu produk atau menggunakan suatu jasa. Pemerintah selaku pihak penengah yang bertugas memantau dan membina para pelaku usaha pun menerapkan 5 asas dalam memberikan perlindungan konsumen, sehingga tidak      memihak satu sama lain (pelaku konsumen dan konsumen). Harapan lebih lanjut agar tujuan pemberian perlindungan konsumen dapat mencapai tujuan yang diinginkan, yakni konsumen memiliki pemahaman akan hak dan kewajibannya, mengangkat harkat dan martabat konsumen, tercipta system perlindungan konsumen, menyadarkan pelaku usaha agar bersikap jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, dan meningkatkan kualitas barang dan jasa yang dapat memberikan kenyamanan, keselamatan, dan keamanan konsumen.
   
     Saran
     Perlindungan konsumen hendaknya selalu diupayakan oleh aparat/ pihak yang berwenang  dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selayaknya diterapkan dalam dunia bisnis. Dengan harapan para pelaku usaha dan konsumen mengetahui hak dan kuwajiban masing-masing. Para pelaku usaha : beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberi informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, melayani konsumen secara baik dan jujur, tidak diskriminatif, menjamin mutu barang dan/ jasa yang diproduksi, dan lain-lain. Konsumen demikian juga dapat bersikap positif (tidak apatis) ketika  membeli produk atau menggunakan  jasa yang ditawarkan. Konsumen hendaknya : beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang / jasa, cermat dan teliti saat membeli produk/ menggunakan jasa, membayar sesuai dengan nilai tukar yang ada, dan mengikuti upaya hukum bila terjadi pelanggaran hak konsumen.
                                                                                                                                                   LITERATUR
 Urip Salami, Rochani,…….,    Business Law “ , Universitas Jenderal Soedirman : Purwokerta
anggara.org/2006
alatpenghematbbm.com
ariesaja.wordpress.com/2009
economy.okezone.com
harianjogja.com
soef47.wordpress.com/2009
www.waspada.co.id

Tidak ada komentar: