Kumpulan Cerpen Guru Kehidupan |
“ Bu Intan, gimana nilai Ulangan Harian
saya kemarin”, seloroh Kaka saat
berpapasan denganku di samping Ruang 8C.
“ Maaf, belum selesai koreksinya. Kan
baru kemarin” jawabku jujur.
“ Kalau nilai ulanganku tidak remidi,
Bu Intan saya kasih uang!”, tukas Kaka sambil berkacak pinggang. Aura
kesombongan muncul persis seperti hari-hari biasanya. Wajahnya menyeringai ,
sorot matanya jalang, berpadu dengan seragam pramuka yang
awut-awutan. Hem tidak dimasukkan. Hasduk tidak dikenakan dan ikat pinggang
juga tidak kelihatan. Dan kaos kaki hitam itu, hanya mengintip di bawah mata
kaki karena ujungnya dilipat ke dalam.
“Oh ya, memang Kaka punya uang berapa?”
jawabku sambil menahan kemarahan. Soalnya, kasus anak ini sudah keterlaluan.
Sejak awal masuk di kelas 8C, Kaka terus-terusan membuat ulah. Setiap hari
Sabtu tidak piket kelas. Alasannya bangun kesiangan lah, mobil mogok di jalan
lah, sampai alasan klasik yang menyebalkan “lupa” pun dijadikan senjata
untuk mengelabuhi guru. Pelanggaran kedua
yang juga sering diulang-ulang adalah terlambat datang. Meski sudah diantar
sopir, namun masih juga terlambat. Pelanggaran
ketiga, sering juga tidak mengerjakan PR.
Pelanggaran lainnya, mengganggu pelajaran, meremehkan teman, sampai
suatu saat ada guru mapel yang tidak terima karena merasa dilecehkan. Belum
lagi setiap ulangan, Kaka selalu remidi karena nilainya kurang dari KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal). Anehnya, Kaka tidak pernah merasa malu atau
sedih. Yah, ekspresinya biasa saja orang dia memang tidak pernah belajar. Wajar
ia begitu PD saja, meski nilai- nilai ulangannya jauh dari ketentuan.
“ Banyak Bu, kan ayah saya pejabat!” jawab
Kaka mantap membuyarkan anganku tentang dia.
“ Baik, kita berembug saja di ruang BK.
Di sini tidak enak” kataku berusaha sabar.
Sesampainya
ruang BK, Kaka kupersilakan duduk. Kepala masih tegak, sorot mata liar, tak
sedikit pun Kaka merasa takut apalagi malu. Persis seperti hari-hari sebelumnya
saat kupanggil karena
melanggar tata-tertib sekolah.
“ Kaka, belum cukup apa kau membuat ulah
selama ini? Belum puas kau pamerkan jabatan dan kekayaan ayahmu? Ingatlah,
jabatan dan kekayaan itu hanya titipan Tuhan. Kapan Tuhan berkehendak
mengambilnya, tidak ada yang bisa mencegahnya. Lagian semua itu kan milik
ayahmu, kenapa kau bawa-bawa ke sekolah. Sekolah itu bukannya mencari ilmu?
Bukan untuk ajang pamer kekayaan dan jabatan? Ingatlah Kaka, di atas langit ada
langit. Kau tahu maksudnya itu? ”. Kaka diam saja, sepatah kata pun tak keluar
dari bibirnya yang membiru. Agaknya Kaka sudah ketagihan merokok, meski baru
kelas 8 SMP. Aku kembali menyodorkan Buku Kasus Siswa, entah yang keberapa
kali.
“ Artinya, kekayaan dan jabatan ayahmu
itu belum seberapanya kekayaan dan jabatan orang lain. Coba hitung saja uang,
mobil, rumah, tanah, deposito, dan lainnya yang ayahmu miliki, itu belum
seberapanya kekayaan konglomerat. Jabatan ayahmu juga apa sih? Baru Kasi di
Lembaga Abal-Abal yang syarat korupsi itu kan?. Masyaalloh, Kaka, belum lagi
kau tandingkan dengan pemilik alam semesta ini. Yah, Alloh Ta’ala. Tuhan
pencipta dan pemilik segalanya.. Subkhanalloh, kita ini tak ada apa-apanya.
Kapan saja Alloh menghendaki yang ayahmu miliki, sekejap akan lenyap begitu
saja” kataku panjang lebar.
Kaka
mulai tertunduk, matanya agak redup, meski belum terucap kata maaf dari
mulutnya.
“Lihat Kaka, baru tiga hari yang lalu
kamu berjanji tidak akan membuat salah lagi. Kenapa sekarang kau ulangi lagi? ”
tanyaku sambil menahan marah.
“Maaf,
Bu Intan. Saya salahnya apa, bukannya saya cuma tanya hasil ulangan Bahasa
Indonesia kemarin?” jawab Kaka sedikit cuek.
“O..jadi kamu belum tahu salahmu? Tadi
kamu bilang mau ngasih uang Bu Intan kalau nilaimu tidak remidi itu sopan
tidak?” sergapku.
“Ya, biasa saja Bu”.
“ Ngomongnya memang biasa, tapi moralmu
yang luar biasa. Masak anak seusiamu sudah mengenal uang sogok. Bukannya kamu sudah
merasa kalau nilaimu pasti jelek. Lalu dengan carayang
diajarkan ayahmu menyogok dengan uangnya yang banyak?” jelasku sedikit gusar.
Lanjutku, “ Kau pikir semua bisa dibeli dengan uang? Seperti berita-berita di
TV itu. Para koruptor bisa lepas dari jeratan hukum karena uang sogokannya
kepada hakim dan jaksa? Insyaflah, Kaka, kalau semua guru sudah mau disogok
seperti itu, hancurlah dunia ini. Guru itu figur yang harus bisa ‘digugu’ dan
‘ditiru’. Guru juga pencetak peradaban. Mendidik akhlag, mengukir nurani
dan penghias jiwa-jiwa yang jujur, disiplin, tangguh, mandiri dan
bertanggungjawab. Jadi, kalau gurunya bisa disogok, bagaimana muridnya yang
kelak jadi lurah, ramat, bupati, gubernur, mentri, jaksa, hakim atau
presiden? Mau jadi koruptor semua? Apa
jadinya negeri ini? “
Kaka
mulai tertunduk, dan sejenak air matanya berkilau meski disembunyikan. Dengan
pelan Kaka berkata, “Maaf, Bu Intan. Saya telah membuat Ibu tersinggung. Saya
berjanji untuk yang terakhir kali, kalau saya tidak akan berbuat salah lagi”.
“Bagus, janjimu sudah didengar oleh
Tuhan dan dicatat oleh Malaikat yang senantiasa mengiringimu ke mana pun kamu
berada” jawabku mantap.
Jarum jam menunjuk angka 13.35 menit saat
kupijakkan kaki ke Rumah Peradaban. Yah, Rumah Peradaban julukanku pada rumahku
yang berada di pojok perumahan Korpri termurah di kota ini dengan label RSSS.
Rumah Sangat Sedikit Semen atau Rumah Sangat Sulit Selonjor julukan beberapa
orang yang pernah kudengar di angkot. Segera kuambil air wudhu untuk menunaikan
sholat dhuhur. Belum sampai kulepas mukena, kudengar suara suamiku sayup-sayup mengucapkan
salam, “ Assalammu’alaikum?”
“ Wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh
“ jawabku sengaja keras agar kedengaran dari luar. Nampak wajahnya sedikit
pucat dan tangan kanannya terasa dingin saat kucium.
“ Kenapa, Bi? Sakit ya? Kok pucat dan
dingin?” sapaku lembut.
“ Tidak, Mi. Itu, di sana ada beberapa
orang mau bertamu.
“ Oh, ya. Kalau begitu Abi masuk saja,
saya yang menemui tamu” jawabku sekenanya dan penuh tanda tanya. Mendadak
jantungku berdetak kencang, darahku mengalir deras, dan bulu
4
kudukku
berdiri. Pedang, kelewang, gobang, dan sabit berkilau kena terpaan sinar
matahari yang begitu panas. Meski benda-benda tadi agak disembunyikan di sisi
sarung dan diselipkan di pinggang, tapi nampak jelas tertangkap mataku.
Wajah-wajah sangar dan penuh amarah memancar tajam. Sejenak, aku teringat
kerusuhan-kerusuhan, tawuran pelajar, demo anarkhis, dan perkelahian antar suku
yang sering kudengar di televisi nyata di depan mataku. Betapa bobroknya negeri
ini, korupsi, kolusi, nepotisme, dan perkelahian telah merajalela sampai di
kota gunung ini. Sikap-sikap mau main hakim sendiri juga merambah sampai di
desa-desa yang tak tersentuh oleh hukum negara juga hukum agama. Seolah
takpercaya dengan keadilan persidangan yang memang sudah bisa dibeli dengan
uang.
“ Permisi, Bu! Mau ketemu Pak RT,
sudah tidak sabar ini Bu! “ kata Pak Saidin membuyarkan anganku. Yah, hanya Pak
Saidin yang kukenal dari lima orang yang berdiri di depanku saat itu.
“ Oh, mangga Pak, silakan
masuk” jawabku agak gugup tapi berusaha tetap tenang. Toh kami tidak punya
salah, kenapa harus takut.
“ Pak RT mana, Bu? Saya mau lapor.
Pokoknya saya tidak terima sama kelakuan Si Kosim“ seru Pak Saidin mulai panas.
“ Saya lebih tidak terima, Bu. Kalau
Si Kosim sampai berani sama bapak saya, lebih baik langkahi mayatku dulu”
sergah Si Mus bernada lebih tinggi. Rupa-rupanya Si Mus ini putranya Pak
Saidin.
“ Sabar, Pak. Kalau ada masalah itu
kita bicarakan baik-baik. Tunggu dulu ya, Pak RT sedang sholat dhuhur. Sebentar
lagi selesai” jawabku menenangkan. Sengaja kuulur- ulur waktu untuk menemui
tamu-tamu tak diundang itu. Kubuatkan teh hangat dan sedikit cemilan yang ku
beli di warung dekat sekolah yang recana mau buat buka puasa sunah nanti sore..
Yah, beruntung hari ini hari Senin, jadi kami dalam kondisi puasa, terlindung
dari amarah yang sering mudah membara.
“ Silakan diminum Pak, mudah-mudahan
membuat sedikit nyaman. Boleh saya tahu, Pak ada masalah apa? Kok tumben main ke rumah?” sapaku dengan
ramah. Bersyukur rasa takut dankhawatir
yang tadi muncul sudah hilang. Pikirku, Alloh akan melindungiku dari
orang-orang yang jahat.
“ Gini, Bu. Si Kosim telah
menginjak-injak harga diriku. Tadi pagi bebeknya yang puluhan itu telah masuk
ke sawahku. Merusak tanaman padi dan memakan semua ikan yang kuceburkan di
sawah itu! “ kata Pak Saidin membuat aku mulai jelas duduk perkaranya.
“ Ikan yang baru sebulan ditebar,
habis Bu! Pokoknya Si Khosim harus bertanggungjawab. Kalau tidak mau, biar
kupenggal lehernya yang berkepala botak itu!” kata Si Mus berapi-api sambil
mengangkat sebilah pedang dan diarahkan
melintang di depan lehernya.
“ Sabar, Dhik. Masalah kan bisa
diselesaikan. Sekarang maunya ‘sampeyan’ bagaimana? “ tanyaku sabar,
“Sebagai pihak yang dituakan, kan kami hanya bisa menengahi kalau ada
pihak-pihak yang bertikai” imbuhku pelan.
“ Si Kosim tidak mau ngganti, Bu!
Katanya ia tidak salah walau bebeknya masuk ke sawahku. Nah, itu yang membuat
saya marah. Katanya yang salah, bebeknya, gitu!” jawab Pak Saidin sudah agak
mereda kemarahannya.
“ O…begitu, memang tadi sudah ke Pak
Kosim?” tanyaku penasaran.
“ Sudah, orang saya tahu langsung
saya ke rumahnya. Tapi, ya itu Si Kosim njawabnya ngawur, jadi saya pulang
ambil parang dan pedang ini. Biar si Kosim tahu diri “ jawab Si Mus masih
dengan marah.
“ Berapa ikan Pak Saidin yang dimakan
bebek Pak Kosim dan seberapa banyak padi yang rusak? “ tanyaku berhati-hati.
“ Wah, ikannya tak terhitung, Bu.
Yang jelas dulu saya beli ratusan ekor. Tanaman padinya juga rusak parah “
jawab pemuda gondrong yang dari tadi diam saja. Rupanya masih saudara dekat
sama Si Mus.
“ Baik, Mas. Saya sekarang sudah tahu
permasalahannya. Silakan diminum dulu. Saya panggilkan Pak RT, mudah-mudahan
sholatnya sudah selesai. Soalnya, kalau sholat khusuk sekali,
jadi agak lama nunggunya “ kataku sambil undur diri. Lega hatiku, suamiku
menemui orang yang semula marah sudah mereda kemarahannya. Aku yakin, tidak
lama pasti masalah selesai karena suamiku juga orang yang sangat bijaksana.
Makanya, di perumahan yang baru beberapa bulan ku tempati ini, suamiku terpilih
menjadi Ketua RT, sebuah jabatan sosial yang penuh pengorbanan dan
tanggungjawab. Jabatan tanpa bayaran, tanpa komisi, apalagi peluang untuk
korupsi. Tapi, bagi siapa saja yang bisa memerankan diri, ia akan lebih
berharga ketimbang Para Dewan dan Mentri, Hakim dan Jaksa, juga Pejabat Tinggi
lainnya yang dengan bangganya melakukan korupsi.
Meski tamuku tadi belum berpamitan
pulang, aku berani tinggalkan Rumah Peradaban ke Rumah Pengetahuan. Yah, Rumah
Peradabanku belum cukup bagiku untuk negeri ini. Kapan pun dan berapa pun uang,
sekedar minum dan sepotong kue saat berembug berbagai hal kehidupaan masyarakat
ku keluarkan. Tak masalah, komputer rumah, kamera, sepedha motor butut dipakai
untuk kepentingan kampung. Tak masalah, waktu istirahatku terkuras untuk
menunggu Rumah Pengetahuan yang susah payah kubangun untuk melayani peminjam
buku. Tak masalah pula, aku harus
terlibat berbagai hal yang kadang memenatkan kepalaku, asal semua itu sebatas
tanggung jawabku sebagai Ibu PKK RT dan Ibu Rumah Pengetahuan. Karena, aku
ingin menjadi Guru Kehidupan. Bukan guru yang hanya mengajarkan ilmu saja, tapi
guru yang dapat menjadi cahaya penerang bagi murid-muridku, jadi teladan dan
panutan dalam berperilaku.
“ Bu Intan, saya pinjam buku ini boleh
tidak? “ tanya Sinta, pengunjung Rumah Pengetahuan menyadarkan lamunanku.
“ Tidak boleh sayang, itu bukan buku
untuk usiamu. Itu untuk Mbak-Mbak yang sudah SMA, pilih lagi yah, buku yang di
rak biru itu. Buku-bukumu di situ semua” kataku agak kaget saat membaca judul
bukunya, “ Tips Berpacaran yang Sehat“. Mungkin gambar hati berwarna pink pada cover
depan buku itu yang membuat Sinta yang baru kelas empat SD itu tertarik.
“ Bu, ada buku tentang Cara Mengelola
Keuangan Keluarga tidak? Aku lagi jenuh nih di rumah. Lagi BT, habis dikritik
terus sama bapaknya anak-anak. Katanya aku pemboroslah, tidak hematlah,
buang-buang waktulah, ih…sebel. Bu Intan kan tahu ya, kalau sekarang ini
apa-apa mahal.
Masak sih saban hari cuma disuruh makan tahu sama tempe terus? Kan bosan,
apalagi Si Imel, yang sudah tahu makanan modern yang enak-enak. Kayak di iklan
TV itu lho! Maunya makan sosis, soghut, kentucy, aneka mie instan, dan
macem-macem lah” kata Bu Tini meledak-ledak.
“ Ada Bu, di Rak Kuning sebelah kiri
Televisi itu. Dicari saja di baris
ketiga. Kalau belum dipinjam, pasti ada di situ. Oh ya, buku tentang “Aneka
Resep Makanan Anak “ juga ada. Bahan bakunya murah tapi kalau bisa memodifikasi
dan menyajikannya jadi menarik dan sehat. Silakan dicoba saja” kataku sambil
mengembalikan buku-buku pengembalian ke rak sesuai klasifikasi buku.
Memang, Rumah Pengetahuanku tidak
sekedar Perpustakaan Desa saja. Yang lebih banyak menjadi gudang buku dengan
debu-debu menempel di rak, buku, dan meja. Atau sepi dan hampa karena tak ada satu
pun pengguna yang datang berkunjung. Tapi Rumah tempat belajar apa saja. Rumah
untuk menggali dan menimba ilmu. Rumah tempat berbagi dan bersinergi. Rumah
tempat berdiskusi dan mencurahkan hati. Yah, Rumah Pengetahuan tempat anak-anak
bermain riang dan wadah ibu-ibu belajar berbagai keterampilan. Rasa capai
rasanya hilang, saat berkumpul lagi dengan anak-anak kecil, remaja, dan ibu-ibu
bertandang di Rumah Pengetahuan. Ada secercah harapan hadirnya masa baru yang
indah dan penuh keceriaan, kejujuran dan kesungguhan dalam menghadapi tantangan
kehidupan. Jiwa-jiwa yang bermartabat karena terbalut oleh ilmu dan iman yang
kuat. Tidak ada lagi Kaka, Pak Saidin dan Si Mus yang mudah terbakar emosi dan
sombong karena materi duniawi yang sesat.
“ Hari yang indah, banyak kesempatan bagiku
untuk berbagi ilmu dan amal hari ini” gumamku dalam hati. Ada rasa yang
membuncah dada. Melambungkan khayal dan melayangkan angan tinggi ke angkasa.
Tuk menyongsong dunia baru, Dunia Peradaban. Belum sampai kupijakkan kaki
kembali ke Rumah Peradabanku, tetanggaku
yang menjadi Tukang Pos, mengantar surat untukku. Surat Undangan Wisuda, yah,
akhirnya benar. Setelah kesulitan demi kesulitan kulalui. Study Lanjut yang
sangat sulit dan menguras energi itu terlampaui juga. Semakin mantap rasanya
tuk menapakkan kaki ke depan. Berbekal ilmu yang cukup, dan asam garam
kehidupan, membuat ku melangkah pasti menjadi
GURU KEHIDUPAN.
(Juara 1 Kategori Umum Lomba MenulisCerpen Tirto Utomo Award III Tahun 2012)
1 komentar:
AssalamuAlaikum wr"wb Allahu Akbar-Allahu Akbar allah mahabesar.
Kenalkan saya IBU ULAN TKI membernya yang kemarin aki brikan nmr 4D
asal dari kota MEDAN, jadi tki di SINGAPUR, mau mengucapkan banyak2
trimakasih kepada KI PALAH yg sdh membantu kami sekeluarga melalui
nmr TOGEL SINGAPUR 4D Keluar hari rabu kemarin
allahamdulillah benar-benar kluar akhirnya dapat BLT Rp.500jt,
sesuai niat kami kemarin KI, klo sdh jackpot, kami
mau pulan kampung buka usaha & berhenti jadi TKI, TKW,
cepek jadi prantauan aki kerena sdh 15 tahun
jadi tkw nga ada perkembangan, jangankan dibilang
sukses buat kirim ke Kampung pun buat keluarga susah KI,
malu KI ama kluarga pulang nga bawah apa2, kita disini hanya
dpt siksaan dari majikan terkadan gaji tdk dikasih, jadi sekali
lagi trimakasih byk buat aki sdh membantu kami, saya tdk bakal l
upa seumur hidup saya atas batuan & budi baik KI PALAH terhadap kami.
Buat sahabat2 tki & tkw yg dilandai masalah/ingin
pulang kampung tdk ada ongkos, dan keadaannya sdh kepepet
tdk ada pilihan lain lg. jangan putus asa, disini kami sdh
temukan solusi yg tepat akurat & trpercaya banyak yg akui ke
ahliannya di teman2 facebook dengan jaminan tdk bakal kecewa,
jelas trasa bedahnya dengan AKI-AKI yang lain, sdh berapa org yg kami
telpon sebelum KI PALAH semuanya nihil, hanya menambah beban, nga kaya
KI PALAH kmi kenal lewat teman facebook sdh terbukti membantu
ratusan tki & tkw termasuk kami yg dibrikan motipasi sangat besar,
demi allah s.w.t ini kisah nyata kami yg tak terlupakan dalam hidup kami AKI,
sekali lagi trimakasih byk sdh membantu kami,skrg kami sdh bisa pulang
dengan membawa hasil.
Jika sahabat2 merasakan hal yang sama dengan kami.
silahkan Hubungi KI PALAH siapa cepat dia dapat,
TERBATASI penerimaan member...wajib 9 member bisa diterimah
dlm 3x putaran.Hubungi 0823 8831 6351 atau kunjungi situs beliau dengan cara klik
>>>>KLIK DI SINI<<<<
Posting Komentar