Minggu, 28 Juni 2009

MEMBUDAYAKAN MENULIS BAGI GURU

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 :1097) kata menulis mempunyai arti : 1) membuat huruf (angka dsb) dengan pena (pensil, kapur,dsb), 2) melahirkan pikiran atau perasaan (spt mengarang, membuat surat) dengan tulisan. Mengacu pada makna kamus tersebut, menulis sudah menjadi bagian pokok dari tugas sehari-hari. Sebelum guru mengajar di depan siswa pun serangkaian kegiatan menulis sudah dilakukan. Mulai dari menyusun silabus, SP, RPP, menyiapkan materi , membuat kisi-kisi soal, membuat soal evaluasi, menganalisis soal, maupun melakukan kegiatan perbaikan dan pengayaan, serta program tindak lanjut. Artinya bahwa guru itu sebenarnya sudah biasa menulis baik itu di papan tulis, di komputer, atau menuangkan pikiran dan perasaan di media lain seperti buku tulis atau kertas. Lalu mengapa guru masih merasa kesulitan dalam menulis bahkan merasa belum bisa menulis? Apakah yang dimaksud dengan “menulis” dan bagaimanakah caranya membudayakan “menulis” tersebut di kalangan guru?

Menulis Karya Ilmiah

  Agaknya memang perlu dimaklumi bila sebagian guru merasa kesulitan “menulis”, walaupun sebenarnya sudah biasa menulis. Memang, dalam konteks ini “menulis” tidak sekedar menulis di papan tulis dengan kapur / spidol atau menuangkan pikiran dan perasaan di buku saja. “Menulis” dalam tanda petik ini adalah menulis karya ilmiah.
   
  Membuat karya tulis ilmiah di bidang pendidikan bagi guru merupakan salah satu butir dalam pengembangan profesi. Dalam penyusunannya diperlukan pengetahuan dan ketrampilan khusus. Pengetahuan tentang seluk beluk penulisan karya ilmiah dapat dipelajari dari berbagai referensi, diantaranya adalah Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Di Bidang Pendidikan dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Guru, Depdikbud : 1996/1997. Dalam buku pedoman ini disebutkan bahwa karya tulis ilmiah di bidang pendidikan terdiri dari :
(1) Karya (tulis) ilmiah hasil penelitian, pengkajian, survey, dan atau evaluasi di bidang pendidikan, (2) Karya tulis atau makalah yang berisi tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri dalam bidang pendidikan,(3) Tulisan ilmiah popular di bidang pendidikan dan kebudayaan yang disebarluaskan melalui media massa,(4) Prasaran yang berupa tinjauan, gagasan atau ulasan ilmiah yang disampaikan dalam pertemuan ilmiah, (5) Buku pelajaran atau modul,, (6) Diktat pelajaran, (7) Karya terjemahan buku pelajaran / karya ilmiah yang bermanfaat bagi pendidikan. Apa dan bagaimana kerangka sajian isi maupun bahasa dari masing-masing jenis tulisan ilmiah tersebut sudah dipaparkan sedemikian jelas. Namun, pengetahuan tentang hal itu saja belum cukup untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah. Perlu ketrampilan khusus bagi guru untuk dapat menulis karya ilmiah. Pada tahap memulai menulis inilah biasanya guru menghadapi kesulitan. Berdasarkan pengalaman penulis, kesulitan awal yang langsung muncul adalah menentukan jenis tulisan. Meskipun sudah paham tentang jenis-jenis tulisan ilmiah, tetapi bingung juga mau nulis jenis yang mana. Sepertinya dari tujuh jenis tulisan ilmiah tersebut sulit semua. Demikian juga, setelah memilih satu jenis tulisan terbentur kesulitan menentukan tema dan topik. Permasalahan yang akan ditulis sebenarnya berjubel di kepala. Banyak hal yang ingin ditulis, namun saat memulai satu kalimat saja susah dirumuskan. Membuat judul saja kadang-kadang memerlukan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari. Alhasil, setelah judul dirumuskan masih sulit juga dalam memulai dan mengembangkan tulisan secara utuh. Pada saat menutup tulisan pun tidak jarang mengalami kebuntuan. Permasalahan selanjutnya yang menghadang ketika tulisan ilmiah (misalnya artikel) yang berhasil kita buat ditolak media. Rasanya media jurnal pendidikan itu susah sekali ditembus. Padahal media lain seperti tabloid dan surat kabar juga tidak mudah. Kalau toh dimuat artikel kita tersebut belum tentu bisa digunakan untuk kenaikan pangkat karena belum mendapat angka kredit. Permasalahan “menulis” ini akhirnya menjadi bumerang bagi guru yang kurang aktif dan kreatif. Akhirnya terakumulasi stigma pada sebagian guru bahwa “ Menulis itu memang sulit “, “ Menulis itu membuang waktu “, dan “ Menulis itu Sia-Sia Saja”.

Komitmen Menulis

  Di samping berbagai permasalahan seperti tersebut di atas, sebagian guru masih terkungkung oleh budaya tutur. Berbicara atau ngobrol di sela- sela tugas mengajar lebih sering dilakukan dari pada membaca buku referensi, membaca artikel di koran atau mempelajari jurnal pendidikan. Memang berbicara itu lebih mudah dan mengasyikkan. Namun, fakta ini harus diubah bila kita sebagai guru ingin maju dan berkembang. Kesadaran akan perlunya meningkatkan kompetensi harus selalu diupayakan. Dalam proses pembelajaran guru merupakan ujung tombak dari keberhasilan pendidikan di sekolah. Untuk itu, guru dituntut dapat bekerja secara profesional agar dapat menghasilkan out put yang berkualitas. Menurut Raka Joni, kemampuan profesional guru dijabarkan menjadi sepuluh (10) kompetensi yang meliputi : (1) menguasai landasan-landasan pendidikan, (2) menguasai bahan-bahan pelajaran, (3) mampu mengelola program belajar mengajar, (4) mampu mengelola kelas, (5) mampu mengelola interaksi belajar mengajar, (6) mampu menyusun media / sumber belajar, (7) mampu menilai hasil belajar siswa, (8) mengenal fungsi dan pgogram bimbingan dan konseling, (9) memahami prinsi-prinsip dan hasil-hasil penelitian untuk keperluan pengajaran, dan (10) mengenal dan menyelenggarakan administrasi pendidikan. 

  Untuk menjadi tenaga yang profesional, guru tidak hanya harus meningkatkan kemampuan, namun juga harus dapat mengantisipasi berbagai perubahan dan perkembangan, serta melakukan kegiatan pengembangan profesi. Dalam keputusan Menpan No.84 / 1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, pasal 9, menyatakan bahwa kenaikan pangkat / jabatan setingkat lebih tinggi menjadi Tk I golongan ruang IV b atau guru Pembina Tingkat I sampai dengan Pembina Utama golongan ruang IV e atau guru utama, diwajibkan mengumpulkan sekurang-kurangnya 12 angka kredit dari unsur pengembangan profesi. Aturan ini menyadarkan para guru agar mau menulis karya ilmiah kalau ingin naik pangkat. Kalau pun tidak ingin naik pangkat ke jenjang IV b ke atas, kegiatan menulis tetap harus diupayakan. Jadi, komitmen menulis bagi guru tidak bisa ditawar lagi. Kemampuan menulis guru harus dimiliki , karena dengan menulis seorang guru dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara logis, dinamis, dan kreatif. Kemampuan menulis juga sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas pembelajaran terhadap anak didik.

Alasan Guru Harus Menulis

  Kemampuan dan ketrampilan menulis di samping bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kenaikan pangkat juga mempunyai banyak manfaat lain. Menulis karya ilmiah sudah menjadi trade mark bagi guru berprestasi / guru teladan. Maksudnya, guru yang ikut berkompetisi menjadi guru berprestasi harus bisa menulis karya tulis. Guru yang ingin meningkatkan karier mejadi kepala sekolah / pengawas juga harus bisa menulis. Bagi guru menulis nyata merupakan lagu wajib yang harus terus dinyanyikan bila jati dirinya ingin tetap berkumandang. Atau dengan kata lain menulis bagi guru harus menjadi makanan sehari-hari sebagai pelengkap makanan pokok. Menulis harus dijadikan makanan suplemen otak agar selalu segar dan berenergi. Menulis harus diupayakan dan dibudayakan dalam kehidupan hingga menulis menjadi kehidupan ilmiah bagi guru.
   
  Di samping beberapa alasan tersebut, kemampuan dan ketrampilan menulis secara personal mempunyai banyak manfaat. Menulis dalam bentuk apa saja ternyata mempunyai pengaruh positif terhadap diri penulisnya. Pengalaman penulis, dengan menulis kita akan tertempa dan terkondisikan untuk disiplin , kerja keras, jujur, bertanggung jawab dan percaya diri dalam menghadapi berbagai hal. Terutama di hadapan anak didik, kemampuan menulis dapat membantu mereka ketika menghadapi kesulitan dalam pembelajaran bahasa. Guru yang terampil menulis sangat mudah membantu siswa yang kesulitan menulis (mengarang). Bagaimana membimbing dalam menentukan tema, merumuskan tema ke dalam topik, memberi judul, memilih diksi atau kosa kata yang tepat, mengembangkan paragraf, menutup tulisan, membuat synopsis, dll. Sedangkan menurut Dr. Pennebaker manfaat menulis adalah 1) menjernihkan pikiran, 2) mangatasi trauma, 3) membantu mendapatkan dan mengingat informasi, 4) membantu memecahkan masalah, 5) menulis – bebas membantu kita ketika kita terpaksa harus menulis.

Memulai Menulis

  Bambang Sadono dalam Buku Pintar Seorang Penulis, KPS : 1983 mengingatkan bahwa menulis adalah soal karya, hingga diperlukan langkah lain yakni kerja, yang didukung oleh perilaku kreatif. Untuk memulai menulis guru memang harus kreatif dan peka terhadap berbagai permasalahan yang muncul di dunia pendidikan. Caranya dengan mencatat hal-hal penting dalam buku harian. Mungkin ini terkesan kuna, namun bagi penulis pemula cukup membantu untuk berlatih menuangkan ide dan perasaan dalam bentuk tulisan. Apabila menemui kegagalan, jangan buru-buru beranggapan bahwa diri kita tidak berbakat untuk menulis. Ingat, bakat bukanlah satu-satunya modal untuk dapat menulis. Seorang pemenang hadiah Nobel untuk bidang Kesusasteraan, William Faulkner, mengaanggap bahwa bakat baru sepertiga bagian, di samping disiplin menulis dan kemampuan bekerja itu sendiri, tapi ketiga-tiganya itu penting. Resepnya, “99 persen bakat, 99 persen disiplin dan 99 persen kerja”.
   
  Hal lain yang perlu diperhatikan dalam membudayakan menulis di kalangan guru adalah memulai budaya baca. Mengubah budaya tutur menjadi budaya baca, merupakan langkah penting untuk menumbuhkan minat menulis. Kegiatan menulis tidak terlepas dari kegiatan membaca. Dengan banyak membaca, seorang penulis (guru) akan mendapatkan suplemen untuk tulisannya. Dari membaca akan diperoleh banyak pengetahuan dan informasi yang dapat dijadikan referensi ketika menulis. Apabila dipaksakan menulis tanpa membaca akan kering tulisan kita dan terkesan ringan, alias tidak berbobot. Wawasan penulis kurang, dan argumentasi penulis sangat dangkal sehingga susah untuk dipercaya karena alasan tidak kuat. 

  Bagi guru yang ingin maju dan berkembang , menulis harus dimulai dari sekarang. Kesulitan memulai menulis dapat diatasi dengan berbagai langkah sebagai berikut :
1. Menyadari bahwa ketrampilan menulis harus dimiliki oleh guru guna meningkatkan profesiolalisme kerja dan merupakan kegiatan pengembangan profesi.
2. Memahami betul jenis-jenis tulisan ilmiah, baik itu dari segi kerangka isi, maupun sajian bahasa.
3. Memperbanyak membaca buku-buku referensi penulisan baik tulisan ilmiah maupun non ilmiah (sastra), dan contoh-contoh karya ilmiah pada jurnal pendidikan atau artikel- artikel di surat kabar.
4. Mengubah / mengurangi budaya tutur menjadi budaya baca. Meningkatkan budaya baca menjadi budaya tulis lalu menjadikan menulis sebagai kehidupan ilmiah.
5. Memotivasi diri bahwa menulis itu tidak harus berbakat. “Siapa yang mau belajar menulis dan kerja keras dengan mau berlatih dan berlatih, pasti bisa”.
6. Mencoba menulis apa saja untuk mengasah ketrampilan menulis. Meluangkan waktu tertentu yang secara konsisten digunakan untuk menulis. Untuk tulisan bentuk artikel atau ulasan ilmiah bidang pendidikan dapat dikirim ke media.
7. Mencoba menulis bentuk tulisan ilmiah lainnya, seperti PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dengan mengangkat permasalahan yang dihadapi ketika melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM). 

Daftar Pustaka :
_______. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Depdikbud : Jakarta
Hernowo.2004. Quantum Writing, Cara Cepat nan Bermanfaat Untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis. Mizan Media U
_______.2002. Materi Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah Guru SLTP/MTs Tingkat Jawa Tengah. Proyek Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan dan Non 
                   Kependidikan Pada Pendidikan Dasar dan Pra Sekolah : Semarang
______.1996. Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Di Bidang Pendidikan danAngka Kredit Pengembangan Profesi Guru. Depdikbud : Jakarta
______.2002. Pengembangan Profesional Dan Petunjuk Penulisan Karya Ilmiah.Dirjen Kelembagaan Agama Islam : Jakarta
Raka Roni. 1980.Pengembangan Kurikulum IKIP/FIP/FKG, Suatu Kasus Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi. Majalah Analisis Pendidikan Tahun I No.3 
                   : Jakarta
Sadono, Bambang. 1983. Buku Pintar Seorang Penulis. Keluarga Penulis Semarang :  Semarang

Tidak ada komentar: