Senin, 12 Maret 2012

GURU KEHIDUPAN


Kumpulan Cerpen Guru Kehidupan
        “ Bu Intan, gimana nilai Ulangan Harian saya kemarin”, seloroh  Kaka saat berpapasan denganku di samping Ruang 8C.
         “ Maaf, belum selesai koreksinya. Kan baru kemarin” jawabku jujur.
         “ Kalau nilai ulanganku tidak remidi, Bu Intan saya kasih uang!”, tukas Kaka sambil berkacak pinggang. Aura kesombongan muncul persis seperti hari-hari biasanya. Wajahnya menyeringai , sorot  matanya  jalang, berpadu dengan seragam pramuka yang awut-awutan. Hem tidak dimasukkan. Hasduk tidak dikenakan dan ikat pinggang juga tidak kelihatan. Dan kaos kaki hitam itu, hanya mengintip di bawah mata kaki karena ujungnya dilipat ke dalam.

        “Oh ya, memang Kaka punya uang berapa?” jawabku sambil menahan kemarahan. Soalnya, kasus anak ini sudah keterlaluan. Sejak awal masuk di kelas 8C, Kaka terus-terusan membuat ulah. Setiap hari Sabtu tidak piket kelas. Alasannya bangun kesiangan lah, mobil mogok di jalan lah, sampai alasan klasik yang menyebalkan “lupa” pun dijadikan senjata untuk  mengelabuhi guru. Pelanggaran kedua yang juga sering diulang-ulang adalah terlambat datang. Meski sudah diantar sopir, namun masih juga terlambat. Pelanggaran ketiga, sering juga tidak mengerjakan PR.  Pelanggaran lainnya, mengganggu pelajaran, meremehkan teman, sampai suatu saat ada guru mapel yang tidak terima karena merasa dilecehkan. Belum lagi setiap ulangan, Kaka selalu remidi karena nilainya kurang dari KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Anehnya, Kaka tidak pernah merasa malu atau sedih. Yah, ekspresinya biasa saja orang dia memang tidak pernah belajar. Wajar ia begitu PD saja, meski nilai- nilai ulangannya jauh dari ketentuan.
     “ Banyak Bu, kan ayah saya pejabat!” jawab Kaka mantap membuyarkan anganku tentang dia.
     “ Baik, kita berembug saja di ruang BK. Di sini tidak enak” kataku berusaha sabar.
Sesampainya ruang BK, Kaka kupersilakan duduk. Kepala masih tegak, sorot mata liar, tak sedikit pun Kaka merasa takut apalagi malu. Persis seperti hari-hari sebelumnya saat kupanggil karena melanggar tata-tertib sekolah.
       “ Kaka, belum cukup apa kau membuat ulah selama ini? Belum puas kau pamerkan jabatan dan kekayaan ayahmu? Ingatlah, jabatan dan kekayaan itu hanya titipan Tuhan. Kapan Tuhan berkehendak mengambilnya, tidak ada yang bisa mencegahnya. Lagian semua itu kan milik ayahmu, kenapa kau bawa-bawa ke sekolah. Sekolah itu bukannya mencari ilmu? Bukan untuk ajang pamer kekayaan dan jabatan? Ingatlah Kaka, di atas langit ada langit. Kau tahu maksudnya itu? ”. Kaka diam saja, sepatah kata pun tak keluar dari bibirnya yang membiru. Agaknya Kaka sudah ketagihan merokok, meski baru kelas 8 SMP. Aku kembali menyodorkan Buku Kasus Siswa, entah yang keberapa kali.
       “ Artinya, kekayaan dan jabatan ayahmu itu belum seberapanya kekayaan dan jabatan orang lain. Coba hitung saja uang, mobil, rumah, tanah, deposito, dan lainnya yang ayahmu miliki, itu belum seberapanya kekayaan konglomerat. Jabatan ayahmu juga apa sih? Baru Kasi di Lembaga Abal-Abal yang syarat korupsi itu kan?. Masyaalloh, Kaka, belum lagi kau tandingkan dengan pemilik alam semesta ini. Yah, Alloh Ta’ala. Tuhan pencipta dan pemilik segalanya.. Subkhanalloh, kita ini tak ada apa-apanya. Kapan saja Alloh menghendaki yang ayahmu miliki, sekejap akan lenyap begitu saja” kataku panjang lebar.
Kaka mulai tertunduk, matanya agak redup, meski belum terucap kata maaf dari mulutnya.
        “Lihat Kaka, baru tiga hari yang lalu kamu berjanji tidak akan membuat salah lagi. Kenapa sekarang kau ulangi lagi? ” tanyaku sambil menahan marah.
     “Maaf, Bu Intan. Saya salahnya apa, bukannya saya cuma tanya hasil ulangan Bahasa Indonesia kemarin?” jawab Kaka sedikit cuek.
       “O..jadi kamu belum tahu salahmu? Tadi kamu bilang mau ngasih uang Bu Intan kalau nilaimu tidak remidi itu sopan tidak?” sergapku.
       “Ya, biasa saja Bu”.
       “ Ngomongnya memang biasa, tapi moralmu yang luar biasa. Masak anak seusiamu sudah mengenal uang sogok. Bukannya kamu sudah merasa kalau nilaimu pasti jelek. Lalu dengan carayang diajarkan ayahmu menyogok dengan uangnya yang banyak?” jelasku sedikit gusar. Lanjutku, “ Kau pikir semua bisa dibeli dengan uang? Seperti berita-berita di TV itu. Para koruptor bisa lepas dari jeratan hukum karena uang sogokannya kepada hakim dan jaksa? Insyaflah, Kaka, kalau semua guru sudah mau disogok seperti itu, hancurlah dunia ini. Guru itu figur yang harus bisa ‘digugu’ dan ‘ditiru’. Guru juga pencetak peradaban. Mendidik akhlag, mengukir nurani dan penghias jiwa-jiwa yang jujur, disiplin, tangguh, mandiri dan bertanggungjawab. Jadi, kalau gurunya bisa disogok, bagaimana muridnya yang kelak jadi lurah, ramat, bupati, gubernur, mentri, jaksa, hakim atau presiden?  Mau jadi koruptor semua? Apa jadinya negeri ini? “
Kaka mulai tertunduk, dan sejenak air matanya berkilau meski disembunyikan. Dengan pelan Kaka berkata, “Maaf, Bu Intan. Saya telah membuat Ibu tersinggung. Saya berjanji untuk yang terakhir kali, kalau saya tidak akan berbuat salah lagi”.
        “Bagus, janjimu sudah didengar oleh Tuhan dan dicatat oleh Malaikat yang senantiasa mengiringimu ke mana pun kamu berada” jawabku mantap.
         Jarum jam menunjuk angka 13.35 menit saat kupijakkan kaki ke Rumah Peradaban. Yah, Rumah Peradaban julukanku pada rumahku yang berada di pojok perumahan Korpri termurah di kota ini dengan label RSSS. Rumah Sangat Sedikit Semen atau Rumah Sangat Sulit Selonjor julukan beberapa orang yang pernah kudengar di angkot. Segera kuambil air wudhu untuk menunaikan sholat dhuhur. Belum sampai kulepas mukena, kudengar suara suamiku sayup-sayup mengucapkan salam, “ Assalammu’alaikum?”
         “ Wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh “ jawabku sengaja keras agar kedengaran dari luar. Nampak wajahnya sedikit pucat dan tangan kanannya terasa dingin saat kucium.
        “ Kenapa, Bi? Sakit ya? Kok pucat dan dingin?” sapaku lembut.
        “ Tidak, Mi. Itu, di sana ada beberapa orang mau bertamu.
         “ Oh, ya. Kalau begitu Abi masuk saja, saya yang menemui tamu” jawabku sekenanya dan penuh tanda tanya. Mendadak jantungku berdetak kencang, darahku mengalir deras, dan bulu
4
kudukku berdiri. Pedang, kelewang, gobang, dan sabit berkilau kena terpaan sinar matahari yang begitu panas. Meski benda-benda tadi agak disembunyikan di sisi sarung dan diselipkan di pinggang, tapi nampak jelas tertangkap mataku. Wajah-wajah sangar dan penuh amarah memancar tajam. Sejenak, aku teringat kerusuhan-kerusuhan, tawuran pelajar, demo anarkhis, dan perkelahian antar suku yang sering kudengar di televisi nyata di depan mataku. Betapa bobroknya negeri ini, korupsi, kolusi, nepotisme, dan perkelahian telah merajalela sampai di kota gunung ini. Sikap-sikap mau main hakim sendiri juga merambah sampai di desa-desa yang tak tersentuh oleh hukum negara juga hukum agama. Seolah takpercaya dengan keadilan persidangan yang memang sudah bisa dibeli dengan uang.
         “ Permisi, Bu! Mau ketemu Pak RT, sudah tidak sabar ini Bu! “ kata Pak Saidin membuyarkan anganku. Yah, hanya Pak Saidin yang kukenal dari lima orang yang berdiri di depanku saat itu.
         “ Oh, mangga Pak, silakan masuk” jawabku agak gugup tapi berusaha tetap tenang. Toh kami tidak punya salah, kenapa harus takut.
         “ Pak RT mana, Bu? Saya mau lapor. Pokoknya saya tidak terima sama kelakuan Si Kosim“ seru Pak Saidin mulai panas.
         “ Saya lebih tidak terima, Bu. Kalau Si Kosim sampai berani sama bapak saya, lebih baik langkahi mayatku dulu” sergah Si Mus bernada lebih tinggi. Rupa-rupanya Si Mus ini putranya Pak Saidin.
         “ Sabar, Pak. Kalau ada masalah itu kita bicarakan baik-baik. Tunggu dulu ya, Pak RT sedang sholat dhuhur. Sebentar lagi selesai” jawabku menenangkan. Sengaja kuulur- ulur waktu untuk menemui tamu-tamu tak diundang itu. Kubuatkan teh hangat dan sedikit cemilan yang ku beli di warung dekat sekolah yang recana mau buat buka puasa sunah nanti sore.. Yah, beruntung hari ini hari Senin, jadi kami dalam kondisi puasa, terlindung dari amarah yang sering mudah membara.
       “ Silakan diminum Pak, mudah-mudahan membuat sedikit nyaman. Boleh saya tahu, Pak ada masalah  apa? Kok tumben main ke rumah?” sapaku dengan ramah. Bersyukur rasa takut dankhawatir yang tadi muncul sudah hilang. Pikirku, Alloh akan melindungiku dari orang-orang yang jahat.
       “ Gini, Bu. Si Kosim telah menginjak-injak harga diriku. Tadi pagi bebeknya yang puluhan itu telah masuk ke sawahku. Merusak tanaman padi dan memakan semua ikan yang kuceburkan di sawah itu! “ kata Pak Saidin membuat aku mulai jelas duduk perkaranya.
         “ Ikan yang baru sebulan ditebar, habis Bu! Pokoknya Si Khosim harus bertanggungjawab. Kalau tidak mau, biar kupenggal lehernya yang berkepala botak itu!” kata Si Mus berapi-api sambil mengangkat sebilah pedang dan diarahkan  melintang di depan lehernya.
         “ Sabar, Dhik. Masalah kan bisa diselesaikan. Sekarang maunya ‘sampeyan’ bagaimana? “ tanyaku sabar, “Sebagai pihak yang dituakan, kan kami hanya bisa menengahi kalau ada pihak-pihak yang bertikai” imbuhku pelan.
         “ Si Kosim tidak mau ngganti, Bu! Katanya ia tidak salah walau bebeknya masuk ke sawahku. Nah, itu yang membuat saya marah. Katanya yang salah, bebeknya, gitu!” jawab Pak Saidin sudah agak mereda kemarahannya.
          “ O…begitu, memang tadi sudah ke Pak Kosim?” tanyaku penasaran.
           “ Sudah, orang saya tahu langsung saya ke rumahnya. Tapi, ya itu Si Kosim njawabnya ngawur, jadi saya pulang ambil parang dan pedang ini. Biar si Kosim tahu diri “ jawab Si Mus masih dengan marah.
          “ Berapa ikan Pak Saidin yang dimakan bebek Pak Kosim dan seberapa banyak padi yang rusak? “ tanyaku berhati-hati.
          “ Wah, ikannya tak terhitung, Bu. Yang jelas dulu saya beli ratusan ekor. Tanaman padinya juga rusak parah “ jawab pemuda gondrong yang dari tadi diam saja. Rupanya masih saudara dekat sama Si Mus.
         “ Baik, Mas. Saya sekarang sudah tahu permasalahannya. Silakan diminum dulu. Saya panggilkan Pak RT, mudah-mudahan sholatnya sudah selesai. Soalnya, kalau sholat khusuk sekali, jadi agak lama nunggunya “ kataku sambil undur diri. Lega hatiku, suamiku menemui orang yang semula marah sudah mereda kemarahannya. Aku yakin, tidak lama pasti masalah selesai karena suamiku juga orang yang sangat bijaksana. Makanya, di perumahan yang baru beberapa bulan ku tempati ini, suamiku terpilih menjadi Ketua RT, sebuah jabatan sosial yang penuh pengorbanan dan tanggungjawab. Jabatan tanpa bayaran, tanpa komisi, apalagi peluang untuk korupsi. Tapi, bagi siapa saja yang bisa memerankan diri, ia akan lebih berharga ketimbang Para Dewan dan Mentri, Hakim dan Jaksa, juga Pejabat Tinggi lainnya yang dengan bangganya melakukan korupsi.
          Meski tamuku tadi belum berpamitan pulang, aku berani tinggalkan Rumah Peradaban ke Rumah Pengetahuan. Yah, Rumah Peradabanku belum cukup bagiku untuk negeri ini. Kapan pun dan berapa pun uang, sekedar minum dan sepotong kue saat berembug berbagai hal kehidupaan masyarakat ku keluarkan. Tak masalah, komputer rumah, kamera, sepedha motor butut dipakai untuk kepentingan kampung. Tak masalah, waktu istirahatku terkuras untuk menunggu Rumah Pengetahuan yang susah payah kubangun untuk melayani peminjam buku. Tak masalah pula,  aku harus terlibat berbagai hal yang kadang memenatkan kepalaku, asal semua itu sebatas tanggung jawabku sebagai Ibu PKK RT dan Ibu Rumah Pengetahuan. Karena, aku ingin menjadi Guru Kehidupan. Bukan guru yang hanya mengajarkan ilmu saja, tapi guru yang dapat menjadi cahaya penerang bagi murid-muridku, jadi teladan dan panutan dalam berperilaku.
       “ Bu Intan, saya pinjam buku ini boleh tidak? “ tanya Sinta, pengunjung Rumah Pengetahuan  menyadarkan lamunanku.
        “ Tidak boleh sayang, itu bukan buku untuk usiamu. Itu untuk Mbak-Mbak yang sudah SMA, pilih lagi yah, buku yang di rak biru itu. Buku-bukumu di situ semua” kataku agak kaget saat membaca judul bukunya, “ Tips Berpacaran yang Sehat“. Mungkin gambar hati berwarna pink pada cover depan buku itu yang membuat Sinta yang baru kelas empat SD itu tertarik.
       “ Bu, ada buku tentang Cara Mengelola Keuangan Keluarga tidak? Aku lagi jenuh nih di rumah. Lagi BT, habis dikritik terus sama bapaknya anak-anak. Katanya aku pemboroslah, tidak hematlah, buang-buang waktulah, ih…sebel. Bu Intan kan tahu ya, kalau sekarang ini apa-apa mahal. Masak sih saban hari cuma disuruh makan tahu sama tempe terus? Kan bosan, apalagi Si Imel, yang sudah tahu makanan modern yang enak-enak. Kayak di iklan TV itu lho! Maunya makan sosis, soghut, kentucy, aneka mie instan, dan macem-macem lah” kata Bu Tini meledak-ledak.
        “ Ada Bu, di Rak Kuning sebelah kiri Televisi itu.  Dicari saja di baris ketiga. Kalau belum dipinjam, pasti ada di situ. Oh ya, buku tentang “Aneka Resep Makanan Anak “ juga ada. Bahan bakunya murah tapi kalau bisa memodifikasi dan menyajikannya jadi menarik dan sehat. Silakan dicoba saja” kataku sambil mengembalikan buku-buku pengembalian ke rak sesuai klasifikasi buku.
        Memang, Rumah Pengetahuanku tidak sekedar Perpustakaan Desa saja. Yang lebih banyak menjadi gudang buku dengan debu-debu menempel di rak, buku, dan meja. Atau sepi dan hampa karena tak ada satu pun pengguna yang datang berkunjung. Tapi Rumah tempat belajar apa saja. Rumah untuk menggali dan menimba ilmu. Rumah tempat berbagi dan bersinergi. Rumah tempat berdiskusi dan mencurahkan hati. Yah, Rumah Pengetahuan tempat anak-anak bermain riang dan wadah ibu-ibu belajar berbagai keterampilan. Rasa capai rasanya hilang, saat berkumpul lagi dengan anak-anak kecil, remaja, dan ibu-ibu bertandang di Rumah Pengetahuan. Ada secercah harapan hadirnya masa baru yang indah dan penuh keceriaan, kejujuran dan kesungguhan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Jiwa-jiwa yang bermartabat karena terbalut oleh ilmu dan iman yang kuat. Tidak ada lagi Kaka, Pak Saidin dan Si Mus yang mudah terbakar emosi dan sombong karena materi duniawi yang sesat.
         “ Hari yang indah, banyak kesempatan bagiku untuk berbagi ilmu dan amal hari ini” gumamku dalam hati. Ada rasa yang membuncah dada. Melambungkan khayal dan melayangkan angan tinggi ke angkasa. Tuk menyongsong dunia baru, Dunia Peradaban. Belum sampai kupijakkan kaki kembali ke  Rumah Peradabanku, tetanggaku yang menjadi Tukang Pos, mengantar surat untukku. Surat Undangan Wisuda, yah, akhirnya benar. Setelah kesulitan demi kesulitan kulalui. Study Lanjut yang sangat sulit dan menguras energi itu terlampaui juga. Semakin mantap rasanya tuk menapakkan kaki ke depan. Berbekal ilmu yang cukup, dan asam garam kehidupan, membuat ku melangkah pasti menjadi  GURU KEHIDUPAN

(Juara 1 Kategori Umum Lomba MenulisCerpen Tirto Utomo Award III Tahun 2012)

1 komentar:

ibu wulan mengatakan...


AssalamuAlaikum wr"wb Allahu Akbar-Allahu Akbar allah mahabesar.
Kenalkan saya IBU ULAN TKI membernya yang kemarin aki brikan nmr 4D
asal dari kota MEDAN, jadi tki di SINGAPUR, mau mengucapkan banyak2
trimakasih kepada KI PALAH yg sdh membantu kami sekeluarga melalui
nmr TOGEL SINGAPUR 4D Keluar hari rabu kemarin
allahamdulillah benar-benar kluar akhirnya dapat BLT Rp.500jt,
sesuai niat kami kemarin KI, klo sdh jackpot, kami
mau pulan kampung buka usaha & berhenti jadi TKI, TKW,
cepek jadi prantauan aki kerena sdh 15 tahun
jadi tkw nga ada perkembangan, jangankan dibilang
sukses buat kirim ke Kampung pun buat keluarga susah KI,
malu KI ama kluarga pulang nga bawah apa2, kita disini hanya
dpt siksaan dari majikan terkadan gaji tdk dikasih, jadi sekali
lagi trimakasih byk buat aki sdh membantu kami, saya tdk bakal l
upa seumur hidup saya atas batuan & budi baik KI PALAH terhadap kami.
Buat sahabat2 tki & tkw yg dilandai masalah/ingin
pulang kampung tdk ada ongkos, dan keadaannya sdh kepepet
tdk ada pilihan lain lg. jangan putus asa, disini kami sdh
temukan solusi yg tepat akurat & trpercaya banyak yg akui ke
ahliannya di teman2 facebook dengan jaminan tdk bakal kecewa,
jelas trasa bedahnya dengan AKI-AKI yang lain, sdh berapa org yg kami
telpon sebelum KI PALAH semuanya nihil, hanya menambah beban, nga kaya
KI PALAH kmi kenal lewat teman facebook sdh terbukti membantu
ratusan tki & tkw termasuk kami yg dibrikan motipasi sangat besar,
demi allah s.w.t ini kisah nyata kami yg tak terlupakan dalam hidup kami AKI,
sekali lagi trimakasih byk sdh membantu kami,skrg kami sdh bisa pulang
dengan membawa hasil.
Jika sahabat2 merasakan hal yang sama dengan kami.
silahkan Hubungi KI PALAH siapa cepat dia dapat,
TERBATASI penerimaan member...wajib 9 member bisa diterimah
dlm 3x putaran.Hubungi 0823 8831 6351 atau kunjungi situs beliau dengan cara klik
>>>>KLIK DI SINI<<<<