Di ketinggian
2.093 meter
Kau tegak
menjulang
Bersimut kabut
pagi berarak-arak menyapu hamparan ladang
kentang,
Bukit-bukit
terjal dan berkawan hawa dingin yang menusuk tulang
beraroma
belerang yang mengepul pekat dari Kawah Sikidang
gemerlap cahaya
kemilau telaga
menyambut nyanyian
burung memecah angkasa
inilah surga
dunia
sungguh antik
dan eksotik
sebuah
panorama misteri nan ajaib
Untai mutiara
zambrut Katulistiwa
Menjadi wisata
“ Paris Van Java”
Konon, Dataran Tinggi Dieng
Instana para dewa bersemayam
Tempat memuja dan berdoa pada Sang Hyang Widhi
Abad 8 Masehi
Wangsa Mataram Kuno
Membangun kuil dan candi
Hingga beruntai, berhiaskan
relief-relief
Sebagai saksi sebuah eksistensi
Negeri Wangsa Sanjaya nan suci abadi hingga kini
Konon, Dieng tempat flora dan fauna bercengkerama
Di bawah rindangnya pepohonan
Akasia, Pinus, Kayu Putih,
Gondopuro, Tengsek, dan Pyretum
Yang hijau rimbun
Terhampar membentang sepanjang
mata memandang
Lebatnya semak-semak belukar
Tebalnya rerumputan dan lumut
liar
Menjalar lalu menyeruak di
sela-sela bebatuan besar yang tetap kokoh dan tegar
Menambah indahnya pesona ciptaan Tuhan
Tergores sebagai lukisan alam nan
dasyat
Sungguh-sungguh hebat,
Subkhanalloh!
Kini, burung tak lagi bernyanyi
Hutan menangis kesakitan
Saat parang dan sabit membabat
habis
Tubuhmu yang semakin kurus tak
bertulang
Hamparan semak belukar lenyap
entah ke mana
Terusir oleh aroma pestisida dan
pupuk non organik lainnya
Telaga tak lagi jernih berkilau
Debit airnya menyusut, dan
warnamu pudar
Seiring gundulnya bukit-bukit
Dan ausnya lereng-lereng gunung tergerus erosi
Entahlah, ke mana perginya
Burung Belibis, Perkutut Hutan,
Kepodang, Jalak Penyu dan Burung Johor
Yang kala itu kesohor dengan
cicit, riuh dan merdu kicauannya
Saat menyongsong matahari terbit ufuk timur
Entahlah, ke mana larinya
Hewan-hewan liar yang menyimpan
kengerian
Pada taring-taringnya yang
runcing dan raungannya yang melengking
Ringkik Anjing Kikik Dieng juga
tak lagi terdengar
Babi Hutan, Harimau Gembong,
Gogor, Kumbang dan Tutul
Tak lagi muncul di keheningan
malam
Yang tinggal bentangan ladang kentang,
kol, bawang merah, jagung
Dan aneka palawija tanpa tanaman
keras berakar kuat
Pelindung tanah dari terpaan
hujan
Dan kini, Dieng mulai meringis
Memamerkan gigi bebatuan yang menyebul semakin menonjol
Tinggal nunggu waktu harus
tanggal
Menggelinding, menerjang, dan
menghantam apa pun tanpa ampun
Ketika hujan turun deras
Menerabas, kentang, kol, bawang
merah, jagung, ladang
Semua lenyap tak berbekas
Tinggal penyesalan yang ada
Menyesakkan dada, mengundang
tanda tanya
Mengapa begini?
Siapa yang bertanggungjawab semua
ini?
Bagaimana mengatasi?
Ke mana hutan perawan itu pergi?
Ke mana hutan perawan itu pergi?
Referensi :
Otto Sukatno CR, 2004, Dieng Poros Dunia,
IRCiSOD : Yogyakarta
---------------------, 2002, Mengenal dan Membangun Wonosobo, Pemda
Wonosobo (CV Wisnu Press) :
Wonosobo
www.diengplateau.com diakses tanggal 29
Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar