Selasa, 11 September 2012

KEGELISAHAN AWAL DARI KEABADIAN


Foto Bersama Penulis
Rasa gelisah yang sering mengungkung hati, kadang menjadi bara api yang sanggup kobarkan nurani. Kata gelisah identik dengan resah, kalut, cemas, atau kata kerennya sekarang “ galau”. Bila rasa ini tidak dikelola dengan baik, hanya menghasilkan suasana hati yang tidak tentram, tidak tenang atau tidak sabar untuk melakukan  atau berbuat sesuatu. Namun, bila gelisah ditata dengan baik, dikelola dengan matang, dan dicarikan solusi yang tepat, akan menemukan muaranya. Muara untuk mencari jati diri, mengespresikan jiwa, mengobarkan semangat untuk berbuat kebajikan, menebarkan kebaikan, dan meraih asa yang melambung tinggi di angkasa. Gelisah bukan lagi masalah yang jadi penghalang di setiap langkah. Gelisah bukan lagi sekedar keluh-kesah atau sumpah-serapah. Gelisah adalah bukti kalau kita punya peduli. Kehampaan karya, kesepian ide, kekosongan aktifitas yang mampu menyuarakan deru hati yang pilu. Sendu dengan kebekuan sepanjang waktu. Tak adanya ruang untuk berbagi  dan bersinergi. Kegelisahan jadi awal sebuah langkah untuk wujudkan komunitas yang berkualitas. Gelisah hanya muncul saat kenyataan tidak sesuai harapan. Atau impian tak terealisasikan. Jadi, kita bersyukur. Dalam satu ruang dan waktu, terkumpul jiwa-jiwa yang resah dan gelisah, jiwa-jiwa yang rindu dengan kedamaian dan ketenteraman. Jiwa yang mendamba cinta. Merenda asa. Merengkuh peluh setelah lelah meneriakkan keadilan dan kemunafikan. Mengikis habis kebusukkan moralitas pemimpin-pemimpin bangsa. Meneriakkan jeritan anak-anak bangsa yang terkapar oleh ketidakadilan dalam memperoleh hak-haknya. Mengharap ada perubahan akan ketimpangan-ketimpangan hidup di semua aspek kehidupan. Jiwa yang rindu untuk menyatu dalam bingkai sastra. Yah, memang perlu wadah untuk bergabung dan bernaung agar dapat bergayung sambut dalam mendengungkan dinamika kehidupan di Wonosobo ini.
Itulah sepotong jiwa yang mengemukan setelah kita bersua, bersapa dan bersama untuk melahirkan sebuah komunitas sastra kala Senin, 27 Agustus 2012 di rumah Mas Yusuf AN. Bincang-bincang santai antara Mas Haqqi, Mas Yusuf, Mba Nessa, Mbak Syifa, Mas Omtri, Vanera el-Arj telah berujung pada acara Launching dan Bedah Dua Buku di Perpusda Wonosobo, Sabtu, 8 September 2012 lalu. Ada sepenggal rasa yang perlu dicatat. Dunia kepenulisan adalah dunia yang paling terbuka. Siapa pun dengan profesi apa pun bahkan dalam umur berapa pun dapat  menulis. Menulis apa saja, tak terkecuali sastra. Maka, kehadiran penyair, budayawan, guru, kepala sekolah, siswa, mahasiswa, ibu rumah tangga, seniman, dan lain-lain di acara launching  buku kemarin menjadi nuansa yang indah dan menggugah. Andai kita sanggup suarakan hati, bahwa menulis tak sekedar profesi tapi panggilan hidup, maka kebenaran akan terkuak, kedamaian tertanam, jika politik salah diluruskan, kepincangan terjembatani, kesombongan terkebiri, dan sebagainya. Mudah-mudahan agenda demi agenda yang akan datang di Komunitas Sastra Wonosobo lebih mengkristalkan diri sebagai komunitas yang berarti. Mari mantabkan hati untuk menulis sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing. “Menulis itu merangkai mawar melati menjadi indah semerbak mewangi”, kata Prof.Dr. Suminto A. Sayuti. Dengan menjadi penulis, kita berarti sudah laksanakan pesan Syaikh Imam Al-Ghazali, “ Bila engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. Kata Guidurrahman El Mishry, “ Tulisan yang baik lahir dari energi cinta. Energi cinta membuat seorang penulis mengokohkan niat menulis, membangun sikap istiqomah dan mendorong tekat kuat untuk menghasilkan karya terbaik”. Tulisan adalah keabadian yang menyiratkan kemuliaan hati penulisnya. Seperti dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa, “ akal orang-orang mulia terletak pada ujung-ujung penanya”. Man jada wajada (Siapa yang sungguh-sungguh berusaha akan dapat mewujudkan impiannya). Bersama, semoga kita bisa. Salam Sastra! (Catatan : Eko Hastuti, Selasa, 11 September 2012)

Tidak ada komentar: