Hari pertama masuk, Bu Dini Si Guru Baru di sekolahku sudah mulai unjuk gigi. Mungkin merasa paling cantik, lagak bicaranya yang nyerocos bak air bah itu semakin membabi buta. Setiap perkataannya mencerminkan tingkat kesombongannya yang super tinggi. Yang suaminya gantenglah, yang rumahnya lantai dualah, yang sedannya Volvo merahlah, yang inilah, yang itulah. Pokoknya menyebalkan.
Hari berganti hari, cerita silih berganti. Si Guru Baru yang mengajar di kelas satu itu mulai norak. Waktu mengambil tempat duduk di ruang guru saja, tanpa ba bi bu, langsung duduk di salah satu kursi. Padahal kursi itu, kursinya Bu Erni Sang Wakasek di kelas jauh. Oh ya, sekolahku ada dua lokasi. Kelas jauh ditempati siswa kelas satu dan guru yang mengajar di kelas satu. Waktu Bu Erni datang dan akan duduk, Bu Dini diam saja. Bu Erni pun akhirnya mendekat.
“ Maaf Bu, itu tempat duduk saya. Silahkan Bu Dini cari tempat duduk yang lain” sapa Bu Erni dengan penuh kesabaran.
Tanpa minta maaf dan merasa malu sedikit pun, Bu Dini pindah kursi lain. Anehnya, kursi itu juga kursi Pak Wied, guru senior yang sangat disegani. Kebetulan hari itu Pak Wied izin ada keperluan keluarga di luar kota. Pagi harinya, Bu Dini kegusur lagi begitu Pak Wied datang. Akhirnya Bu Dini pindah lagi dan pindah lagi. Sebetulnya, bisa saja guru-guru yang lain memberikan tempat duduk yang memang kosong. Namun karena muak dengan lagaknya yang tidak tahu etika itu, Bu Dini dicuekin saja. Ya, iseng-iseng buat pelajaran pertama.
Seperti biasa, jauh sebelum pelaksanaan Ebta/Ebtanas, Bapak Kepala Sekolah telah membentuk kepanitiaan Ebta/Ebtanas. yang tidak biasa adalah waktu pembacaan anggota panitia tersebut, khususnya sekretaris diberi embel-embel “ untuk sekretaris Ebta/Ebtanas tahun ini (2001) , saya tunjuk Bu Dini karena Bu Dini sudah pernah menjadi sekretaris Ebta/Ebtanas di sekolahnya yang dulu dan masa kerjanya sudah 16 tahun”, kata Kepala Sekolah dengan bangganya. Yah, serentak saja hampir semua guru yang hadir terpana. Apa hubungannya sekolah dulu dengan sekarang? Wajar saja kalau di sekolahnya dulu yang nota bene sekolah pinggiran alias sekolah pelosok yang gurunya baru beberapa gelintir orang, dia memegang jabatan Waka kek, Pembina OSIS kek, Kaur Kurikulum kek, Ketua Panitia kegiatan sekolah kek, apalagi sekedar sekretaris Ebta/Ebtanas. Nggak lucu kan? Lain halnya di sekolah yang sekarang. Sudah gurunya lumayan banyak, yang senior-senior juga banyak. Masa kerja 16 tahun itu terhitung kecil. Dan lagian, apa benar untuk menjadi sekretaris Ebta/Ebtanas itu harus minimal masa kerja 16 tahun? Bagaimana dengan senior-senior kita yang masa kerjanya sudah lebih dari 30 tahun? Kenapa tidak ditunjuk sebagai panitia Ebta/Ebtanas? Waktu dikonfirmasi pada Kaur Kurikulum, rupanya Bu Dini pintar ‘ berkonsolidasi ‘ dengan kepala sekolah. Termasuk kepindahannya juga karena Bu Dini dekat dan akrab dengan orang berpangkat di Diknas. Pantas, sombongnya nggak ketulungan. Rupa-rupanya ada tameng yang akan membentenginya kapan saja dan di mana saja.
“ Bu Iin, kemarin lihat enggak?” sungut Bu Ati membuyarkan lamunanku.
“ Lihat, kambing nggak pakai baju yang mau dijual di pasar hewan liwat depan sekolah kita kan?” jawabku sekenanya.
“ Bukan, masak lihat kambing sih” bantah Bu Ati ketus.
“ Habis Bu Ati sih, masak pertanyaannya gitu doang. Mana bisa aku tebak arah pertanyaannya!” sergahku.pasti.
“ Itu lho, foto rumahnya Bu Dini. Kemarin di selatan (kelas jauh), foto itu ditunjukkan teman-teman. Foto rumahnya dari berbagai sudut. Memang bagus kok Bu!”
“ Bagusan mana sama rumahnya Kaji Bakri? Itu lho pengusaha kaya yang tinggal dekat Plazza”
“ Ah, Bu Iin itu lho! Ngaco! Masak dibandingkan dengan Kaji Bakri? ”.
“ Habis gitu aja repot-repot pakai difoto segala. Kalau Cuma buat dokumentasi pribadi sih nggak masalah. Lha ini! Kan namanya cari masalah. Bagi teman kita yang masih ngontrak kan bikin sakit hati. Juga teman lain yang karena alasan tertentu masih M5”.
“ Apa sih M5 itu?” tanya Bu Ati penasaran.
“ Ah, tebak sendiri, nanti ada yang tersinggung!”
“ Tuh bel sudah berbunyi. Segera masuk kelas!” kelakarku menirukan gayanya Kepala Sekolah.
Aku tersenyum dalam hati. Teringat kata Mba Yati, penjahit langgananku dulu yang pindah di Perumahan Sindoro Indah. Kebetulan Bu Yati tinggal satu kompleks dengan Bu Dini. Saat kutanyakan apa benar itu orang terkaya di kompleks itu? Gimana orangnya kalau di kampung? Seperti apa rumahnya? Mbak Yati dengan kalem menjawab, “ Kalau Bu Dini itu kaya mestinya kan tidak mau tinggal di perumahan. Mestinya buat rumah mewah di lahan yang luas. Dengan arsitektur yang canggih dan bernilai seni tinggi. Juga perabotannya yang serba modern, ada kolam renangnya, ada taman dan kebunnya yang juga luas”. Lanjutnya, “ Nyatanya tidak kan? Rumahnya itu, RSS tipe 21 dengan luas tanah 60 meter. Memang tingkat itu karena terpaksa saja. Habis mau pengembangan ke samping, ke depan, ke belakang sudah tidak mungkin. Satu-satunya pengembangan ya ke atas. Jadilah rumahnya berlantai dua…ha…ha….”.
“ Kenapa Bu Iin,kok senyum-senyum sendiri?” sapa Bu Nana yang datang dari kelas jauh.
“ Ngga apa-apa. Lha. kenapa Bu Nana bermuram durja? Hilang cantikya lho!” godaku sekenanya.
“ Siapa yang ngga kesal. Dua jam pelajaran tadi aku terganggu. Jam pelajaran ke-4 dan ke-5 aku ulangan di kelas 1E. Kelas 1A ramainya bukan main”.
“ Lho kelas 1A kan jauh dari kelas 1E, kok bisa terganggu? Memangnya pelajarannya kosong? Atau gurunya pergi tidak meninggalkan tugas? Jamnya siapa sih Bu?”’ sergahku penasaran.
“ Kelas 1A kan sedang di Perpustakaan dekat ruang 1E. Biasa kan target mingguan. Jadi selama satu minggu satu kali selama 90 menit itu, siswa dimasukkan di Perpustakaan. Itulah guru baru kita yang sok pintar itu. Segalanya merasa ‘ter’, jadi teknik mengajarnya pun ingin tampil beda. Perasaan dia asal anak sudah dibawa di Perpustakaan berarti pembelajarannya sudah mengacu KBK. Entah seperti apa hasilnya, entah efektif atau tidak, entah mengganggu orang lain atau tidak, baginya itu tidak penting. Nanti setiap dua minggu sekali anak dibawa ke Perpusda Kabupaten. Hebat kan?”
“ Hebat itu kalau temanya jelas. Pokok bahasannya spesifik. TIK-nya tercapai. Siswa aktif dan kreatif dalam pembelajaran. Dan yang jelas tidak menganggu lingkungan sekitar. Lha kalau anak cuma dilepas begitu saja, lalu ramai sekedar mengacak-acak buku di perpustakaan. Itu namanya amburadul”
“ Wah, ramai benar diskusinya? Gimana, ikutan ah” kata Pak Kemi yang kebetulan jamnya kosong. Ia paling senang kalau membicarakan situasi Timur Tengah tentang perang Irak-Amerika.
“ Sory Bung, ini bukan masalah Timur Tengah, tapi masalah teman baru kita!” jawabku tegas.
“ Bu Guru yang cantik itu lho!” timpal Bu Nana.
“ Oh, Bu Dini ya? Memang aku sempat penasaran juga. Sudah golongan berapa sih kok sombongnya seperti itu? Kutanyakan Pak Wied katanya sih golongan IIIc. Gelar sarjananya juga baru saja. Itu lho ketika baru-baru ini izin tiga hari ke Jakarta. Sarjana UT!” kata Pak Kemi.
“ O…begitu” jawabku dan Bu Nana bersamaan.
“ Satu lagi nih. Ternyata yang membicarakan Bu Dini tidak hanya kita. Teman-teman staf TU juga, katanya kalau masuk ke ruang TU itu seperti patung berjalan. Tanpa ba bi bu langsung ambil daftar absen atau daftar nilai “, kata Pak Kemi sambel geleng-geleng kepala.
“ Kemarin juga Bu As bilang saya. Katanya habis dipameri uang ratusan ribu. Bu As sampai heran tanggal tua saja uangnya masih lembaran ratusan ribu. Katanya suaminya habis gajian. Suaminya yang menjabat di perusahaan jamur itu gajinya berjuta-juta” kata Bu Nana.
Aku jadi ingat Pak Narto yang Pembina OSIS juga mengeluh. Pasalnya, Pak Yan Pembina teater yang rekrutan dari tenaga luar sekolah itu ngambek. Bahkan menyatakan tidak sanggup lagi membina teater. Usut punya usut Pak Yan tersinggung sama Bu Dini yang mendampingi kegiatan itu. Peran Bu Dini melebihi tanggung jawab Pak Yan. Senangnya ngatur inilah, itulah, dsbnya. Merasa dikebiri Pak Yan pilih keluar saja. Akhirnya Pak Nartolah yang kalang kabut, habis pents seni sudah diambang pintu. Sementara teater sebagai salah satu metari pentas belum tuntas permasalahannya.
“ Hai, melamun ya?”, gertak Bu Nana sambil mencolek bukuku.
“ Nggak…baru cari strategi. Kita harus cari peljaran sama guru itu. Kita malu kan punya teman sepeti itu. Gimana kalau kita pakai aksi diam. Maksudnya, kalau tidak ditanya Bu Dini kita diam. Kalau ditanya kita jawab seperlunya. Kalau dia mau ngoceh ditinggal pergi saja. Dia itu maunya kan disapa dulu. Kalau tidak ditegur dia nggak nanya. Ya, udah sekarang gentian kita, okey?” kataku bersemangat.
“ Kayaknya ide yang cemerlang juga. Bagus, nanti aku bilang pada teman-teman kita yang lain” kata Pak Kemi juga bersemangat.
“ Pasti bagianku di kelas jauh “ kata Bu Nana menimpali.
“ Ya jelas, tapi diam-diam lho Bu! Kalau perlu bisik-bisik dari mulut ke mulut. Tolong katakana aksi kita ini bertujuan positif. Kita ingin merubah sikap Bu Dini yang tidak sehat itu. Bukannya kita benci tapi betul-betul sekedar ingin membentuk pribadi yang baik dengan mmberi perlakuan sikap untuk menyadarkan dia. Nah, bagiannku di sini. Nanti aku bisiki ibu-ibu yang lain “.
Jadilah aksi diam itu berlangsung. Sehari dua hari, seminggu dua minggu, sebulan dua bulan. Tiadak terasa sudah berjalan tiga bulan. Pada minggu-minggu pertama Bu Dini berlagak seperti biasa. Dasar berhati batu, diperlakukan begitu masih belum terasa. Tapi masuk bulan kedua Bu Dini mulai ada perubahan. Wajahnya agak cemberut dan bicaranya kurang. Nampak ada guratan kesedihan di keningnya yang menandakan dia menyimpan banyak masalah. Menginjak bulan ketiga, Bu Dini sudah bisa tersenyum. Ada beberapa teman mengaku sudah disapa duluan oleh Bu Dini. Meskipun begitu, aku tetap berpesan agar teman-teman terus melakukan aksinya.
Tepat memasuki bulan keempat. Hari itu hari Senin, kami semua tertegun. Bu Dini yang hadir menjelang bel pelajaran dimulai, kelihatan tergopoh-gopoh masuk ruang guru. Sambil menjabat tangan teman satu persatu, dia tersenyum dan minta maaf karena datangnya terlambat. Hal yang belum pernah dilakukannya sekali pun selama ini. Sampai di tempat duduknya, Bu Dini lalu duduk dan diam seribu bahasa. Diamnya bukan karena briefing sudah dimulai tetapi entah karena apa. Yang jelas sikapnya kali ini seperti bumi dengan langit. Mungkin Bu Dini ingat peribahasa ‘ Diam Itu Emas’ sehingga dia pilih diam dari pada ‘ Tong Kosong Berbunyi Nyaring’. Mugki takut ketahuan belangnya, dia malu kalau banyak mulut. Bukankah ‘ Air Beriak Tanda Tak Dalam?’ Mungkin dia juga malu dengan kesombongannya selama ini. Apa sih yang disombongkan? Bukankah di atas langit itu masih ada langit? Tidak sengaja aku menoleh ke arahnya. E…tak kusangka dia tersenyum padaku. Luar biasa! Senyuman yang baru pertama kali kulihat selama hampir empat bulan ini.
Upacara bendera hari Senin telah usai. Guru-guru yang mengajar di kelas jauh sudah meninggalkan sekolah induk. Anpa komando, Pak Kemi dan Bu Nana mendekati tempat dudukku.
“ Gimana, aksi kita berhasil kan?’, sergah Bu Nana
“ Eh…nanti dulu. Jangan cepat GR. Perubahan sikap Bu Dini belum tentu karena perlakuan kita lho!” sergah Bu Nana.
“ Yah, niat kita semula kan memang ingin memperbaiki pribadi Bu Dini yang kurang sehat itu. Kita ini kan guru, katanya harus bisa ‘ digugu dan ditiru’. Jangan sampai yang digugu dan ditiru oleh siswa itu keburukan kita. Nanti jadinya ‘ guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Kalau sudah begitu, ‘ guru ‘ kepanjangannya jadi ‘ wagu tur saru ‘, kataku mantap meski dalam hati penuh teka-teki juga. Kenapa perubahan Bu Dini setragis itu. Rasanya kalau dianalisis juga taklogis. Teka-teki yang semakin rumit, seakan takterjawab.
Hingga suatu ketika kulihat Bu Dini turun dari angkot. Lalu memasuki gerbang ekolah induk dengan wajah yang tertunduk. Hal yang selama ini belum pernah terjadi, karena biasanya diantar jemput dengan Volvo merahnya. Juga, wajah suaminya yang pucat dan kusut. Begitu cepat ketampanan yang selama ini dibangga-banggakan telah kusam bersama lenyapnya jabatan dan pekerjaan. Pabrik tempatnya bekerja seminggu lalu resmi ditutup karena bangkrut. Semua asset perusahaan telah dikuasai oleh BPPN melalui bank penjaminnya. Beratus-ratus buruh ter-PHK tanpa pesangon. Sedang Volvo merahnya telah masuk gadai karena terpaksa untuk biaya anak-anaknya kuliah. Hidup ini memang seperti roda berputar maka waspadalah-waspadalah. Nggak usah sombong-sombonglah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar