I
Kamis malam menjelang pagi
Gelegar gemuruhmu membuncah
Getar kaca jendela dan pintu berpacu dengan detak jantung
Dan nafas nan kian memburu
Dada membubung pengap oleh aroma debumu
Hidung pengar,
mata perih
Hati pedih
Tak ada lagi
cahaya
Tak ada lagi
nyala bolam karena listrik padam
Gelap gulita
Bayang-bayang
pohon dan rumah
Menyatu dengan
pekat asap tebalmu yang terus
Menyembul,
mengepul, dan menyelimuti
Bumiku yang
merintih
Sedih
Saat subuh tiba
Laki perempuan,
tua muda
Tunggang langgang
Menerobos jalan
penuh kayu berserakan
Menunduk,
menyibakkan daun penuh debu
Sambil menahan
nafas yang tersengal
Sambil menenteng
tas seadanya, bekal pergi entah kemana
Sambil menahan
gemetar di kaki dan tangan
Melangkah gontai
Menunju
pengungsian
Sebuah tempat
yang tak diinginkan
|
II
|
|
Di antara
perempuan – perrempuan itu
|
|
Ada ibu dan
adik bungsuku
|
|
Tercekat
leherku, seakan terhenti detak jantungku
|
|
Saat mereka
berlari gontai
|
|
Dalam gelap
dalam takut dalam pengap
|
|
Aku terpaku di
depan TV menyaksikan
|
|
Bencana Merapi
yang tak pelak lagi
|
|
Menyambar
semua, membakar semua, menerjang apa saja
Awan panasmu,
debu abumu, banjir laharmu, banjir dinginmu
Sungguh
mencekam
|
|
Ya...Alloh
lindungi ibu dan adikku
Lindungilah
saudara – saudaraku
|
|
Ampuni
dosa – dosa kami
|
|
Hentikan
bencana ini
|
III
Jum’at
jam 11 siang
Rasanya
jarum jam lambat berdetak
Roda
mobil pun pelan berputar
Berpacu
dengan debu Merapi yang liar ke mana – mana
Laju kendaraan
seperti siput merangkak di jalan
Detik-detik jam
terdengar keras
Sekeras detak
jantung
Sekuat doa
berdengung
Memohon
keselamatan keluarga yang ngungsi entah ke mana
Wonosobo –
Magelang seperti perjalanan panjang
Semakin dekat
semakin pekat debu menempel
Semakin cepat
semakin tergelincir roda mobil
Jalan penuh debu
abu yang berubah jadi lautan lumpur
Terguyur hujan
gerimis
Licin
Pemandangan ke
segala penjuru putih
Pohon-pohon
tumbang
Ranting
patah
Daun-daun
kering
Tak
nampak sepetak pun padi menguning
Ke mana
tanaman kobis, kacang, bunga kol, terong, buncis, cabai, tobat
Yang
menjadi IKON Magelang dengan sayuran yang segar dan hijau?
Semua
lenyap terkubur abu Merapi dalam sekejab
Perjalanan
ke Blabak Magelang bak berjuang di medan perang
Terperosok,
tergelincir, tercekat, dan terengah-engah napas menahan dada yang semakin payah
Jalan
sepi, rumah-rumah seperti tak berpenghuni, warung-warung tak beroperasi
Sepi dan
sunyi
Alhamdulillah,
ibu dan adikku menyembul dari lorong rumah
Di
belakang pabrik kertas Blabak yang menyimpan sejarah
Terimakasih ya
Alloh telah Kau lindungi keluargaku
Semoga Kau
lindungi pula saudara-saudaraku
|
IV
|
|
Seminggu
rasanya setahun
|
|
Menunggu bahaya
Merapi menurun
|
|
Sawangan dalam
radius 15 km tidak aman
|
|
Menahan gelisah
tuk menengok saudara-saudaraku
|
|
Mendengar
cerita, menampung derita yang pasti
akan tercurah
|
|
Saat bersua
|
|
Saat berbagi
cerita
|
|
Saat berkeluh
kesah
|
|
Mungkin dapat
membantu mengurangi beban
|
|
Walau beban
hidup semakin berat
|
|
Melihat sawah
kering
|
|
Padi tak
menguning
|
|
Tanaman layu,
sebagian piaraan mati
|
|
Nira tak lagi
keluar
Kelapa jatuh
belum waktunya
|
|
Daun-daun ...ah...
|
|
Semua nyata
saat kami bersua
|
|
Saudara-saudaraku,
maafkanku................
|
|
Yang tak bisa
berbuat banyak tuk meringankan bebanmu
|
|
Terimalah
sedikit rezeki
|
|
Dari
saudara-saudaraku di rantau
|
|
Tetaplah
berjuang tuk menggapai mimpi
|
|
Yang terhenti
sesaat oleh Merapi
|
|
Bangkitlah
mengolah sawah
|
|
Jangan
menyerah!
|
Wonosobo, Medio November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar