Jumat, 30 Desember 2011

Nyanyian Diengku

Karya : Eko Hastuti

Di ketinggian 2.093 meter
Kau tegak menjulang
Bersimut kabut pagi  berarak-arak menyapu hamparan ladang kentang,
Bukit-bukit terjal dan berkawan hawa dingin yang menusuk tulang
beraroma belerang yang mengepul pekat dari Kawah Sikidang
gemerlap cahaya kemilau telaga
menyambut nyanyian burung memecah angkasa
rindangnya belantara seakan berkata
inilah surga dunia
sungguh antik dan eksotik
sebuah panorama misteri  nan  ajaib
Untai mutiara zambrut  Katulistiwa
Menjadi wisata “ Paris Van Java”

Konon, Dataran Tinggi Dieng
Instana para dewa bersemayam
Tempat memuja dan  berdoa pada Sang Hyang  Widhi
Abad 8 Masehi
Wangsa Mataram Kuno
Membangun kuil dan candi
Hingga beruntai, berhiaskan relief-relief
Sebagai saksi sebuah eksistensi
Negeri  Wangsa Sanjaya nan suci abadi hingga kini


Konon, Dieng  tempat flora dan fauna bercengkerama
Di bawah rindangnya pepohonan
Akasia, Pinus, Kayu Putih, Gondopuro, Tengsek, dan Pyretum
Yang hijau rimbun
Terhampar membentang sepanjang mata memandang
Lebatnya semak-semak belukar
Tebalnya rerumputan dan lumut liar
Menjalar lalu menyeruak di sela-sela bebatuan besar yang tetap kokoh  dan tegar
Menambah  indahnya pesona ciptaan Tuhan
Tergores sebagai lukisan alam nan dasyat
Sungguh-sungguh hebat, Subkhanalloh!

Kini, burung tak lagi bernyanyi
Hutan menangis kesakitan
Saat parang dan sabit membabat habis
Tubuhmu yang semakin kurus tak bertulang
Hamparan semak belukar lenyap entah ke mana
Terusir oleh aroma pestisida dan pupuk non organik lainnya
Telaga tak lagi jernih berkilau
Debit airnya menyusut, dan warnamu pudar
Seiring gundulnya bukit-bukit
Dan ausnya lereng-lereng  gunung tergerus erosi

Entahlah, ke mana perginya
Burung Belibis, Perkutut Hutan, Kepodang, Jalak Penyu dan Burung Johor
Yang kala itu kesohor dengan cicit, riuh dan merdu kicauannya
Saat menyongsong matahari  terbit ufuk  timur
Entahlah, ke mana larinya
Hewan-hewan liar yang menyimpan kengerian
Pada taring-taringnya yang runcing dan raungannya yang melengking
Ringkik Anjing Kikik Dieng juga tak lagi terdengar
Babi Hutan, Harimau Gembong, Gogor, Kumbang  dan Tutul
Tak lagi muncul di keheningan malam
Yang tinggal bentangan ladang kentang, kol, bawang merah, jagung
Dan aneka palawija tanpa tanaman keras berakar kuat
Pelindung tanah dari terpaan hujan

Dan kini, Dieng mulai meringis
Memamerkan  gigi bebatuan yang menyebul semakin menonjol
Tinggal nunggu waktu harus tanggal
Menggelinding, menerjang, dan menghantam apa pun tanpa ampun
Ketika hujan turun deras
Menerabas, kentang, kol, bawang merah, jagung, ladang
Semua lenyap tak berbekas
Tinggal penyesalan yang ada
Menyesakkan dada, mengundang tanda tanya
Mengapa begini?
Siapa yang bertanggungjawab semua ini?
Bagaimana mengatasi?
Ke mana hutan perawan itu pergi?

Referensi :
 Otto Sukatno CR, 2004, Dieng Poros Dunia, IRCiSOD : Yogyakarta
 ---------------------, 2002,  Mengenal dan Membangun Wonosobo, Pemda Wonosobo (CV Wisnu Press) :
                                Wonosobo
www.diengplateau.com diakses tanggal 29 Desember 2011

Tidak ada komentar: